Mata pencarian utama masyarakat Sunda kuno
adalah berladang. Hal itu dikemukakann Wertheim dalam bukunya,
“Indonesian Society in Transition” yang membagi masyarakat Indonesia
dalam tiga pola mata pencarian utama, yakni masyarakat pantai,
masyarakat sawah, dan masyarakat ladang.
Naskah Carita Parahyangan dan Wawacan
Sulanjana yang menceritakan sejarah tanah Sunda juga menunjukkan
masyarakat Sunda sebagai peladang atau “ngahuma” dan cenderung hidup
nomaden. Ciri khas masyarakat “ngahuma” adalah tidak memiliki tingkatan
bahasa dan budaya tulis, serta cenderung ke arah kebudayaan lisan. Ciri
khas itu hingga kini masih ditemui di masyarakat Baduy, Banten.
Pertanian sawah baru dikenal di Tatar
Sunda sekitar abad ke-17 bersamaan dengan masuknya pengaruh Mataram. Di
Karawang, misalnya, sistem sawah dengan irigasi mulai dikembangkan sejak
wilayah itu direbut Mataram dari Sumedanglarang tahun 1632.
Sementara di wilayah Priangan, sawah
mulai dikenal abad ke-18, yaitu diperkenalkan orang-orang Mataram yang
didatangkan VOC. Mereka membuka daerah baru yang menghasilkan pangan.
Melalui pertanian sawah, VOC mengarahkan masyarakat Sunda agar hidup
menetap dalam pola perkampungan.
Berdasarkan dokumen VOC, sawah pertama di
Priangan dibuka di Conggeang, Kabupaten Sumedang. Sawah itu dikerjakan
orang-orang dari Banyumas. Mereka membawa peralatan lengkap dari
kampung, termasuk kerbau. Adapun di Indramayu, yang menjadi lumbung
padi, sawah pertama baru dibuka awal abad ke-19.
Perluasan sawah di Priangan mulai
dilakukan tahun 1750 di kawasan Sumedang dan Tasikmalaya. Setengah abad
kemudian, sawah mulai dibuka di Bandung dan Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar