Dalam perkembangannya, tidak semua bangsa di dunia semata-mata adalah
hasil perkembangan dari penduduk pribuminya. Melainkan sebagai hasil
interaksi dalam jangka waktu yang lama. Seperti Jepang misalnya. Dalam,
sejarah kita tentu mengenal bahwa bangsa Jepang yang ada sekarang
bukanlah semata-mata lahir dari peradaban pribumi asli Jepang yaitu
bangsa Ainu. Tetapi lahir dari sebuah interaksi dengan bangsa
tetangganya, Cina dan Korea.
Demikian juga sang negara adidaya, Amerika Serikat, yang dengan
terang menunjukkan bahwa negeri Paman Sam ini dibangun oleh para
pendatang dan bukannya oleh pribumi yang notabene, sekarang ini,
penduduk asli Amerika lebih merasa tertekan jika dibandingkan dengan
para pendatang.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dari pelajaran yang pernah kita
terima di sekolah, Indonesia yang ada sekarang ini lahir dari
“hijrah”nya bangsa Tiongkok yang bermukim di Yunan ke arah selatan.
Terbagi dalam dua gelombang, proto melayu dan deutero melayu.
Bangsa melayu yang menempati seluruh pojok daerah yang lantas disebut
Nusantara kemudian beranak pinak, berkembang biak dan sejalan dengan
teori evolusi, bercabang menjadi berbagai macam suku bangsa.
Itu saja masih belum cukup. Lagi-lagi interaksi dengan bangsa lain membuahkan perkembangan.
Tercatat dalam sejarah, Cina, India hingga bangsa Arab turut
memberikan warna dalam sejarah Indonesia atau dalam masa itu dikenal
sebagai Nusantara.
Dari sekian panjang pergumulan sejarah akhirnya menumbuhkan sebuah
jati diri. Sebuah identitas kebangsaan yang di titik akhirnya membedakan
dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Kita tentu tidak bisa disamakan dengan bangsa Tiongkok meski jujur
kita harus mengakui bahwa fakta sejarah menunjukkan nenek moyang kita
berasal dari Yunan. Dus, kita tidak bisa pula diserupakan dengan bangsa
India atau Arab meski kebudayaan dua bangsa tersebut shahih dalam
sejarah telah terakulturasi dengan budaya lokal.
Seperti pewayangan misalnya. Pewayangan yang dalam hal ini berasal
dari Hindustan akhirnya terbawa melalui perdagangan ke Nusantara. Kisah
seperti Ramayana dan Mahabarata yang bercitarasa Anak Benua akhirnya
diadopsi oleh budaya lokal. Tidak semua entitas budaya yang asli akan
diserap karena ketika versi orisinil tadi tidak sesuai dengan jati diri
suatu bangsa tentu saja akan tertolak.
Lagi-lagi, di sini lah peran dari sebuah jati diri. Sebagai filter, penyaring dari setiap pengaruh yang masuk.
Jika Anda pernah membaca kisah pewayangan versi orisinil dari India
tentu Anda tidak akan menemukan kisah tentang Petruk. Tokoh yang satu
ini adalah tokoh asli yang lahir dari jati diri bangsa Indonesia.
Dalam lakonnya, Petruk adalah seorang tokoh yang menggambarkan watak
yang berjalan di tengah. Tidak reaktif sekaligus tidak juga apatis
dengan lingkungan. Tawasuth. Dalam, pementasan, Petruk selalu disandingkan dengan senjatanya yang berupa pethel atau kapak. Kapak di sini merupakan sebuah simbolisasi dari jati diri Sang Petruk. Dimana ada pethel di sini ada Petruk. Tidak ada pethel maka Petruk tidak akan eksis.
Hingga akhirnya mucul sebuah lakon tentang bagaimana ribut dan
bingungnya Sang Petruk saat harus kehilangan kapaknya, yang menyimbolkan
seorang pribadi yang kehilangan jatidirinya. Petruk kelangan pethel atau Petruk kehilangan kapak.
Indonesia kehilangan
Jika kita merunut sejarah bangsa bernama Indonesia tadi, maka kita
harus mafhum bangsa ini tidak lah lahir serta merta dari perut bumi
melainkan lahr dari akulturasi berbagai peradaban yang telah lebih dulu
lahir di atas bumi.
Namun yang menarik adalah bahwa meski lahir dari berbagai adaptasi dan akulturasi namun pernah
suatu saat bangsa ini memiliki jati dirinya sendiri, sebuah identitas
yang membedakannya dengan bangsa lain dalam percaturan dunia.
Sayangnya dalam perkembangan jati diri itu akhirnya larut, mencair
dalam identitas bangsa lain. Hingga akhirnya, dalam percaturan global,
bangsa ini harus terhimpit dan tergencet dalam ketiak bangsa lain tanpa
bisa menegakkan kepala dan hanya bisa tunduk dan menurut kepentingan
bangsa lain.
Laiknya lakon Petruk kelangan pethel, bangsa ini tengah kehilangan sesuatu bernama identitas. Krisis identitas.
Budaya kekerasan dalam menyelesaikan masalah, mengedepankan otot daripada dialog menjadi jamak di masyarakat.
Menilep uang kantor pun berubah menjadi “pahlawan keluarga”. Sebuah eufemisme terhadap hilangnya identitas bernama rasa malu.
Jika dalam lakon perwayangan, sang Petruk bisa kembali menemukan kapaknya, seharusnya sang Petruk yang memang asli made in Indonesia harusnya mencerminkan kemampuan bangsa ini untuk menemukan kembali identitas bangsa ini.
Dan itu adalah beban tanggung jawab kita bersama untuk menemukannya.
Bukan hanya tanggung jawab salah satu profesi tertentu. Karena tanpa pethel maka tidak ada Petruk, tidak ada jati diri maka tidak ada Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar