Jumat, 20 April 2012

Sunda Wiwitan ayeuna





Secara antropologis, terdapat perspektif bahwa sistem kepercayaan atau religi mengalami perkembangan evolutif dari animisme, dinamisme, totemisme hingga monoteisme. Masyarakat awam cenderung memahami bahwa dimensi religius dalam konsep “agama” sebagai konsepsi puncak dan perkembangan sistem kepercayaan yang berkembang dalam kehidupan manusia. Benarkah demikian?

Pertanyaannya kemudian di manakah atau bagaimanakah posisi “agama minoritas” atau “sistem kepercayaan” lain yang seolah belum terakomodasi dalam ruang publik secara setara bahkan diperlakukan diskriminatif, seperti halnya para kaum penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan kepercayaan atau “agama adat”.

Sunda Wiwitan sebagai “Agama Adat”
Sunda Wiwitan adalah penamaan bagi keyakinan atau sistem keyakinan “masyarakat keturunan Sunda”. Meski penamaan itu tidak muncul oleh komunitas penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian istilah itu dilekatkan pada beberapa komunitas dan individu Sunda yang secara kukuh mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda.

Masyarakat Kanekes, Kasepuhan Adat Banten Kidul (Ciptagelar dan kampung adat sekitarnya), Kampung Adat Cireundeu-Leuwi Gajah Cimahi, Kampung Susuru Ciamis, Kampung Pasir Garut dan Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda (AKUR) di Cigugur Kuningan adalah beberapa komunitas di jawa Barat yang masih memegang teguh ajaran- ajaran Sunda Wiwitan ini. Secara administratif untuk membedakan seseorang atau warga komunitas yang memeluk keyakinan Sunda Wiwitan ini dengan lainnya biasanya dalam kolom agama di KTP (Kartu Tanpa Penduduk) tidak mencantumkan agama semit atau agama “luar” negeri (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dsb).

Biasanya kolom agama pada KTP para penganut Sunda Wiwitan dikosongkan atau terdapat tanda (-) atau ada yang ditulis (tulis tangan atau diketik) Sunda Wiwitan saja. Kondisi ini terjadi bagi mereka yang “kukuh” tidak mau dituliskan nama agama selain yang dianutnya (Sunda Wiwitan). Padahal pihak aparat pembuat KTP terkadang menyarankan (bahkan cenderung memaksa) untuk mengisi kolom agama dengan nama agama-agama yang
(katanya) diakui pemerintah (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu). Tidak jarang pula ada yang mengaku menganut Sunda Wiwitan sementara dalam kolom agama dalam KTP-nya masih ada ketikan nama agama ”luar”.

Keyakinan Sunda Wiwitan yang secara administratif tidak tertulis atau dikosongkan pada kolom agama di KTP itu sama halnya dengan mereka yang mengaku “agama-agama adat” nusantara seperti parmalim, pelebegu, kaharingan, kejawen, aluk ta dolo dsb. Kondisi ciri administratif seperti ini karena negara masih “pilih kasih” atau diskriminatif dalam perlakuan administrasi kenegaraan dan pemerintahan.

Padahal sebelum adanya agama-agama “luar”, keyakinan agama Sunda Wiwitan sudah ada. Bahkan sistem keyakinan Sunda Wiwitan seolah tidak berhak/dilarang menyandang “gelar” atau titel “agama” karena konsep “agama hanya berlaku bagi agama-agama luar (yang dianggap jelas memiliki kitab tertulis, Nabi, Tuhan, ritus dan sebagainya). Sementara itu Sunda Wiwitan sering dikategorikan sebagai “kepercayaan” atau “aliran kepercayaan”, bahkan tidak jarang yang menilai sebagai “aliran sesat” oleh penganut agama ”luar”.

Kenyataan ini sudah sekian lama terjadi dan menjadi momok bagi warga adat ataupun non adat generasi Sunda yang “mikukuh” ajaran budaya spiritual leluhur Sunda ini sejak terjadinya akulturasi dan asimilasi dengan ”budaya spritual pendatang” dari luar. Sampai
saat ini kenyataan terjadinya diskriminasi horizontal atau diskriminasi sosial (pelecehan,
penghinaan, pemfitnahan terhadap penganut Sunda Wiwitan) dan diskriminasi vertikal atau diskriminasi yang berupa kebijakan-kebijakan pemerintah pusat atau daerah yang diskriminatif terhadap kaum Sunda Wiwitan masih berlangsung.

Agama Sunda Wiwitan tidak pernah dan memang tidak melakukan propaganda agama atau syiar atau missionaris, karena memang ”bukan agama misi”, bahkan sesungguhnya tidak mudah orang mengaku atau memeluk keyakinan Sunda Wiwitan. Karena agama ini banyak dianut dan berkembang hanya pada masyarakat Suku Sunda, dan sistem serta bahasa yang digunakan pun menggunakan bahasa Sunda maka Sunda Wiwitan sebagai sistem keyakinan atau “agama” hanya bagi mereka yang secara genealogis adalah Suku Sunda.

Pertanyaannya kemudian, apakah orang suku Sunda boleh menganut keyakinan Sunda Wiwitan? Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang penduduk Kanekes yang berasal dari daerah Kaduketug (suatu nama daerah di wilayah Kanekes), mengatakan bahwa “ieu mah agama kami batur mah meunang. Sababna teu meunang soteh pedah pedah kami ge can karuhan bisa ngalaksanakeun flu bener tina agama kami (baca; Sunda Wiwitan)”.

Artinya dan hasil wawancara itu bahwa Sunda Wiwitan sebagai agama atau keyakinan masyarakat Kanekes adalah hanya diperuntukkan bagi kalangan mereka saja, dan orang lain selain yang berasal dari lingkungan mereka tidak boleh menganut Sunda Wiwitan. Adapun alasan tidak boleh menganut Agama Sunda Wiwitan dikatakan bahwa karena jangankan orang lain (selain orang Kanekes) boleh menganut keyakinan tersebut, orang Kanekes sendiri pun belum tentu bisa mengimplementasikan ajaran Sunda Wiwitan dengan benar.

Di balik pernyataan itu tersirat bahwa orang Kanekes atau penganut Sunda Wiwitan tidak berniat untuk menyebarkan ajaran Agama Sunda Wiwitan, bahkan sampai mengajak orang lain menganut Sunda Wiwitan. Hal demikian karena Agama Sunda Wiwitan “bukan agama misi atau syiar” yang orang lain boleh sembarangan menganutnya.

Kemudian dari pernyataan itu (dan hasil wawancara selanjutnya dengan orang Kanekes tersebut) bahwa mereka sesungguhnya sangat menghormati keyakinan atau Agama lain selain Sunda Wiwitan. Hal ini juga berkaitan pula dengan prinsip sikap orang Kanekes dalam kaitannya dengan “budaya luar” atau sistem (tidak akan menjajah keyakinan “luar” (selain Sunda Wiwitan) bahwa mereka “embung dijajah jeung moal ngajajah” pengaruhi dan tidak mau dijajah (dipengaruhi)” karena sudah merupakan tugas mereka (orang Kanekes) untuk tetap mempertahankan tradisi leluhur apa adanya.

Keteguhan orang Kanekes sebagai penganut Sunda Wiwitan dalam mempertahankan tradisi dan budaya spiritual leluhur mereka apa adanya itu sesuai dengan prinsip keteguhan mereka bahwa “lojor tea meunang dipotong pondok tea meunang disambung” (secara harfiah berarti panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).

Penganut Sunda Wiwitan tidak memandang jelek kepada agama lain, bahkan tidak merasa sebagai saingan kompetisi penyebaran, karena sebagaimana tadi dikemukakan bahwa agama Sunda Wiwitan sesungguhnya tidak bertujuan untuk “disebarkan” kepada orang lain. Hal ini mengacu pada dasar pemahaman bahwa Agama Sunda Wiwitan ada sejak adanya “manusia Sunda” diciptakan oleh “Nu Ngersakeun” atau “Sang Hiyang Keresa” atau Gusti Pangeran Sikang Sawiji wiji” (istilah causa prima bagi penganut Sunda Wiwitan). Dengan demikian keberadaan Agama Sunda Wiwitan pada hakekatnya diperuntukkan bagi mereka yang “merasa” dan “rumasa” berkepribadian sebagai keturunan (genealogis) “darah Sunda” (meski hal ini pada kenyataannya tidak mengikat secara ketat).

Pemahaman bahwa agama Sunda Wiwitan tersebut tidak untuk “dipropagandakan”, juga memiliki implikasi pemahaman bahwa dalam ajaran Sunda Wiwitan menghormati kebenaran ajaran agama dan kepercayaan lain dan memahami bahwa setiap umat manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku bangsa di muka bumi ini memiliki agama dan kepercayaannya masing-masing. Mereka sendiri berpendapat bahwa jangankan “kepikiran” untuk mengajak orang lain menganut agama mereka (Sunda Wiwitan), karena mereka sendiri pun sebagai penganut keyakinan Sunda Wiwitan belum tentu sanggup secara sungguh-sungguh menjalankan keyakinan agamanya tersebut.

Bagi penganut Sunda Wiwitan umumnya dan Orang Kanekes khususnya, dalam agama Sunda Wiwitan menitikberatkan kepada masalah “tuah” (amal, perbuatan). Agama mereka (Sunda Wiwitan) menekankan kepada apa yang harus dilakukan sebagai manusia, cenderung lebih tertutup untuk mempermasalahkan atau memeperdebatkan pada “apa yang mereka percayai”.

Hal ini karena bagi warga penganut Sunda Wiwitan bahwa Yang Dipercayai (yang diimani) itu bukan untuk diperdebatkan, yang penting bagaimana melaksanakan “pikukuh” atau aturan kehidupan manusia berdasarkan pada aturan-aturan adat pada masing-masing “wewengkonnya” atau wilayahnya. Masyarakat Kenekes mendasarkan aturan “pikukuh” itu pada “Tri Tangtu” (tata wilayah aturan berdasarkan wilayah ke-Rama-an, ke-Resi-an, ke-Ratu-an), sedangkan pada masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda (AKUR) Sunda di Cigugur Kuningan, “aturan pikukuh” yang dimaksud dikenal dengan “Pikukuh Tilu”.
Edisi 34 September - Oktober 2008 MaJEMUK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar