Oleh : Agus Setia Permana
Para Sastrawan Sunda pada umumnya,
seperti Wahyu Wibisana, Rus Rusyana, Ajip Rosidi menggolongkan
Jangjawokan sebagai bentuk puisi sunda. Yus Rusyana menuangkannya dalam
buku Bagbagan Puisi Mantra Sunda (1970), sedangkan Ajip Rosidi dalam
Jangjawokan (1970). Tentunya lepas dari benar atau salah tentang
pemahaman masing-masing terhadap jangjawokan, namun dengan cara
katagorisasi menjadi cabang dari puisi, paling tidak dapat terkabarkan
kegenarasi berikutnya, bahwa di tatar ini pernah ada bagian dari budaya
Sunda yang disebut Jangjawokan.
Menurut Wahyu Wibisana, jangjawokan
sejalan dengan maksud puisi magis yang dikemukakan Yus Rusyana dan
pendapat Rachmat Subagya pada Agama Asli Indonesia. Dengan mantra orang
berangsur-angsur memulangkan kuasa-kuasa imajiner yang dianggap
melanggar atas wewenangnya yang imajiner kepada tempat asal wajar mereka
yang imajiner juga.
Pengertian imajiner berpusat pada
pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai
kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Dengan demikian,
hal ini ada pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara
tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan
manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya. Cara itulah dengan
menggunakan mantra serta segala ketentuannya.
Mengapa Istilah Jangjawokan ?
Wahyu Wibisana dalam SASTRA LAGU: Mencari Hubungan Larik dan Lirik menjelaskan :
Dua buah bentuk puisi sunda yang
dapat dikatakan bersifat arkais ialah ajimantra dan bentuk puisi pada
cerita pantun. Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Siksa Kandang
Karesyan. Sedangkan puisi pada pantuan ada tahun 1518, sama artinya
dengan istilah mantra sekarang. Sedangkan puisi pada cerita pantun ada
dua yakni rajah dan nataan”.
Jangjawokan suatu arti kata lain dari
ajimantra. Istilah ajimantra digunakan dalam Naskah Siksa Kanda Ng
Karesyan, ditulis pada tahun 1518 M. Tapi istilah Jangjawokan tidak
diketahui sejak kapan. Namun Urang Sunda Tradisional lebih banyak
menggunakan istilah Jangjawokan atau ajian ketimbang ajimantra. Mungkin
kedua sebutan yang memiliki kesaman makna ini menandakan adanya adaptasi
pemahaman, menganggap Jangjawokan (Sunda Buhun) eufimisme dari
ajimantra (Sanksekerta).
Ajip Rosidi dalam buku Jangjawokan lebih
menekankan pada istilah ini ketimbang menggunakan kalimat ajimantra,
dengan alasan: Istilah ajimantra berasal dari India dan dalam bahasa
Sunda tidak pernah digunakan. Dilihat dari segi isinya, Jangjawokan itu
berupa permintaan atau perintah agar keinginan sipengguna jangjawokan
dilaksanakan oleh nu gaib “makhluk gaib”.
Tapi tanpa mengoreksi paradigma diatas,
timbul pertanyaan, apakah benar Jangjawokan itu ajimantra yang
dimintakan kepada Makhluk Gaib ?.
Adaptasi Bahasa atau Keyakinan ?
Sebenarnya untuk mentraslate
makna tujuan permohonan dari pelaku jangjawokan mungkin dapat juga
ditelusuri melalui penelusuran pemahaman tentang Hyang Tunggal; Hyang
Keresa atau Ketuhanan Yang Maha Esa serta sejarah diri dalam Paradigma
Sunda. Karena pemahaman istilah nu gaib tidak selamanya berkonotasi pada
makhluk gaib, seperti jin atau makhluk halus, akan tetapi ada juga
semacam cara membangkitkan spiritulitas dalam dirinya, seperti paradigma
tentang raga ; bathin dan kuring.
Negasi terhadap paradigma diatas dapat dicontohkan, sebagai berikut :.
Ka Indung nu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer
Pangnepikeun ieu hate
Ka Indungna anu nagnadung
Ka Ramana anu ngayuga
Ka Indungna nu teu ngandung
Ka Ramana nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus jeung ngaluis si …. (anu) ……
Dst … dst …….
Saya tidak melihat adanya eksistensi nu gaib
dari luar dirinya. Dalam kasus lain, bisa jadi ditujukan untuk
memperkuat bathinnya, atau semacam ada perintah ingsun kepada bathinnya
untuk berkomunikasi dengan ingsun orang lain.
Jika saja yang dimaksud dalam kandungan
jangjawokan sama dengan yang dimaksud dalam Pantun Sunda, mengingat
keduanya juga dikatarogikan sebagai puisi arkais, hemat saya dapat pula
diperbandingkan dengan referensi dari Buku Jakob Sumardjo tentang ‘Khasanah Pantun Sunda’,
terutama tentang ‘arkeologi pemkiran’ Urang Sunda Buhun terhadap ‘Trias
Politik Sunda’. Tanpa pemahaman yang jelas niscaya “Urang Sunda” akan
kehilangan sejarah pemikirannya yang hakiki.
Signal dari paradigma dan muara
pernmohonan bisa pula dikaitkan dengan strata pengabdian dalam hirarki
pemerintahannya. Misalnya Wado tunduk kepada Mantri ; Mantri
tunduk kepada nangganan ; nangganan tunduk kepada mangkubumi ;
mangkubumi, tunduk kepada ratu ; ratu tunduk kepada dewata ; dewata
tunduk kepada Hyang. Dengan demikian Hyang lah yang tertinggi.
Menurut Edi S Ekajati, dalam Kebudayaan
Sunda – Agama dan kepercayaan: Kekuasaan tertinggi berada pada Sahyang
Keresa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia
disebut Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasda
Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Jadi dalam pemahaman saya,
yang membedakan masalah Keesaan Tuhan dalam Paradigma Urang Sunda
Wiwitan dengan yang berikutnya terletak pada Syariatnya. Hal ini wajar,
mengingat masing-masing ageman memiliki sejarah dan perkembangannya
sendiri.
Dalam tradisi Jangjawokan selanjutnya
ditemukan ada sebutan Allah kepada yang dimohonkan. Urang sunda biasanya
membaca dengan Alloh. Konsonan “O” nya mani lekoh – khas. Bahkan ada
jangjawokan dari Urang Baduy yang menggunakan istilah yang digunakan
para pemeluk agama islam, seperti dibawah ini.
Sawer Panganten:
Bismillahirohmanirohim.
Panggpunten kasadaya,
Kau nu tua ka nu anom,
Sumawon kanu sepuh mah,
Kaula bade nyembahkeun,
Nyi panganten sareng ki panganten.
Atau dalam Sadat Islam :
Sadat Islam aya dua,
Ngislamkeun badan kalawan nyawa,
Dat hirup tangkal iman,
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu,
Parentah Kangjeng Gusti,
Nabi Adam pangyampurnakeun badan awaking,
Sir suci,
Sir adam,
Sir Muhammad,
Muhammad Jaka lalana,
Nu aya di saluhuring alam.
Istilah dalam jangjawokan yang banyak
disebut-sebut urang sunda Buhun, seperti Allah – Adam dan Muhammad
tentunya tidak bisa dilepaskan dari paradigma tentang Dzat – Sifat – dan
Manusia itu sendiri. Mungkin juga menandakan adanya unsur kesatuan yang
hakiki antara raga, bathin dan kuring-na manusa. Memang menjadi sulit
bagi saya membedakan jika masih ada istilah : Jangjawokan itu suatu
permohonan (hanya) kepada Makhluk Gaib, bukan kepada Yang Maha Gaib.
Tapi syah-syah saja jika digunakan dalam rangka katagorisasi puisi
arkais.
Contoh lainnya do’a untuk belajar, atau
agar dicerahkan pikiran. Contoh ini saya dapatkan dari Almarhum Bapak
Nunung Setiya, demikian:
Allahuma hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang ….. Alllah.
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.
Setelah Bapak Nunung meninggal
kemudian saya coba telusuri dari mana asal jangjawokan itu, dan
bagaimana pula bahasa aslinya. Pada akhirnya saya menemukan dari salah
satu sumber, konon dahulunya berisi, demikian:
Hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang,
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.
Jika saja yang kedua diatas diyakini
bersumber dari jangjawokan yang pertama dan tidak ditemukan kalimat
Tauhid, namun dalam bentuk dibawah pun tidak ditemukan adanya unsur yang
memintakan kepada makhluk gaib dalam arti diluar (kekuatan) dirinya.
Kecuali jika indung mu ngandung dan nu teu ngandung ; bapak nu nungayuga
kalawan nu teu ngayuga ; dulur opat kalima pancer dianggap makhluk
gaib?
Saya justru menafsirkan, dengan
dicantumkannya kalimat Tauhid didalam jangjawokan tersebut, justru
dikembangkan oleh urang sunda berikutnya, bertujuan memintakan
legitimasi dan ijin dari yang Maha Gaib. Setidak-tidaknya bertujuan
untuk mengurangi tudingan menduakan Tuhan. Tapi ada benarnya jika urang
tua dulu berujar “antara Gusti jeung makhlukna euweuh watesna, leuwih
deukeut jeung naon wae, malah masih jauh antara hate jeung urat
beuheung”.
Ciri-ciri Jangjawokan
Jangjawokan di dalam koridor satra puisi arkais didefinisikan, sebagai : permintaan
atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan)
dilaksanakan oleh nu gaib “makhluk gaib” sebatas ini mudah dipahami,
yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makhluk gaib untuk mencapai
keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika ditemukan pula
jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya digunakan oleh
urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun), dikatagorikan do’a,
bukan jangjawokan. Namun apakah tidak ada jangjawokan bukan do’a ?.
Pemilahan jangjawokan dengan do’a
dimungkinkan terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bagian dari
puisi sunda (arkais), serta dibahas dalam kacamata sastra. Indikator
jangjawokan ditentukan berdasarkan kacamata sastra. Namun boleh saja
jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika seseorang
mengucapkan jangjawokan tentu tujuannya bukan untuk membaca puisi.
Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan
magis. Kemungkinan kekuatan dari kandungan magis yang dirasakan nyaman
menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun temurun. Jangjawokan
tidak mungkin bisa bertahan dan terkabarkan hingga sekarang jika tidak
dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang jelas ada harmoni
manusia dengan alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.
Peran jangjawokan bisa diasumsikan
keberadaanya sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern,
seperti dokter ; psikolog ; atau profesi apapun yang terkait dengan
masalah penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan digunakan pula dalam
keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan
sebelum buang air dan kegiatan lainnya.
Jangjawokan dalam jenis ini bisa
ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air kecil) ; Jampe
Kabeuratan (hendak buang air besar) ; Jampe Neda (Jampi sebelum makan) ;
Jampe Masamon (Jampi bertamu) dll. Konon kabar, kekuatan dari magisnya
terletak pada kebersihan hati si pelafalnya dan kesungguhan bagi para
penggunannya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui
pengaruhnya, biarlah ini merupakan bagian dari bidang l.ainnya.
Wahyu Wibisana, mengkatagorikan:
”ajimantra (baca : Jangjawokan) merupakan sastra arkais yang pernah
muncul kemudian setelah sastra sunda kuno. Dikatakan ’pernah digunakan’
dan ’pernah muncul’, karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah
tidak menggunakan dan sekaligus tidak mempercayai ajimantra. Hanya
saja, sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap
merupakan genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra
daerah lainnya di Nusantara.”.
Dari pernyataan diatas, saya yakin Kang
Wahyu masih menganggap bahwa masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan
jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna
jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya
masih nyaman untuk digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai
bagian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya
kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya katagorisasi ini dapat
menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya
dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri, yakni :
- Menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sanghiyang Asri, Batara, Batari dll.
- Dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap janjawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otomatis berhadapan dengan pihak yang lemah.
- Berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanjutan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yakni adanya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
- Masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi magis ; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
- Adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut diserap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucapnya.
- Terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda.
Ciri-ciri diatas tentunya dilihat dari
katagori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar
jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya
bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya paska sastra sunda.
Penyebutan Kuasa Imajiner
Pengertian imajiner berpusat pada
pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai
kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran
keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan
kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk
tujuan-tujuan yang dikehendakinya, sebagaimana dalam Jangjawokan.
Nama-nama kuasa imajiner yang dimaksudkan
tentunya sangat terkait dengan istilah-istilah yang digunakan urang
Sunda Buhun. Seperti Pohaci Sanghyang Asri ; Batara dan Batari ; Sri
Tunggal Sampurna ; Malaikat Incer Putih ; Raden Angga Keling ; Ratu
Teluh ti Galunggung ; Sang Ratu Babut Buana. Penyebutan kuasa imajiner
tersebut, seperti contoh dibawah ini :
Jampe Masamoan
Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna !
Maung pundung datang turu
Badak galak datang depa
Galudra di tengah imah
Kakeureut kasieup ku pohaci awaking.
Nya aing mandahna !
Maung pundung datang turu
Badak galak datang depa
Galudra di tengah imah
Kakeureut kasieup ku pohaci awaking.
Jampe masamoan diatas bertujuan agar
memiliki kekuatan yang tersinari pohaci yang ada didalam dirinya. Bahkan
ada semacam perintah bathin kepada siapapun yang ada ditempat pasamoan
tersebut untuk tunduk dan menerima kehadirannya. Mungkin juga dapat
ditafsirkan adanya perintah bathin orang yang hendak bertamu kepada
bathin pihak”nu dipasamoan’.
Contoh perintah bathin ini dapat dilihat dari asihan asihan seperti dibawah ini, sebagai berikut :
Ka Indung anu ngandung
Ka Rama anu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama anu teu ngayuga
kadulur opat kalima pancer
Pang nepikeun ieu hate
Ka Indung na anu ngandung
Ka Rama na anu ngayuga
Ka Indung na nu teu ngandung
Ka Rama na anu teu ngayuga
Kadulur na opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus ngaluis hirup jeung huripna… (sianu) …….
Pamugi sing ……….
Ka Rama anu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama anu teu ngayuga
kadulur opat kalima pancer
Pang nepikeun ieu hate
Ka Indung na anu ngandung
Ka Rama na anu ngayuga
Ka Indung na nu teu ngandung
Ka Rama na anu teu ngayuga
Kadulur na opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus ngaluis hirup jeung huripna… (sianu) …….
Pamugi sing ……….
Jangjawokan diatas terasakan adanya
perintah bathin (rasa) dari pembaca jangjawokan kepada bathin (rasa)
orang yang dituju untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Perintah
dan urusan koridor bathin ini sangat nampak ketika pemohon memerintahkan
bathinnya untuk menyampaikan kepada bathin tujuannya. Seperti ada
eksistensi indung dan bapak anu ngandung kalawan nu teu ngandung.
Kemudian disebut pula eksistensi dari saudara yang empat dan pancernya.
Dalam konteks yang sama ditemukan pula
istilah-istilah spiritual yang lajim digunakan orang sunda penganut
agama islam. Sehingga kuasa imajiner jika ditafsirkan sebagai sesuatu
yang gaib atau makhluk terasa menjadi rancu jika kita membaca
jangjawokan seperti dibawah ini.
Jampe Unggah
Ashadu sahadat bumi
Ma ayu malebetan
Bumi rangsak tanpa werat
Lan tatapakan ing Muhammad
Birahmatika ya arohmana rohomin
Bumi rangsak tanpa werat
Lan tatapakan ing Muhammad
Birahmatika ya arohmana rohomin
Jampe Turun
Allohuma ibu bumi
Allohuma ibu bumi
Medal tapak tatapakan
Turun wawayanging ing Muhamad
Birahmatika ya arohma rohimin.
Turun wawayanging ing Muhamad
Birahmatika ya arohma rohimin.
Jika saja ditelaah lebih lanjut dari
kedua jangjawokan terakhir, saya sendiri menjadi maklum, bahwa
permohonan bathin kepada sesuatu ”Yang Gaib” dimintakan ijin terlebih
dahulu kepada ”Yang Maha Gaib”, atau dapat juga disimpulkan bahwa atas
kehendak yang Maha Gaib maka Yang Gaib itu bisa diperintahkan.
Istilah ”Nu Gaib” disini tentunya
menimbulkan pertanyaan, Nu Gaib anu mana ?. Mungkin alangkah lebih
bijaknya jika mendefinisikan jangjawokan dengan cara menggunakan
paradigma dari para penggunanya, yakni masyarakat Sunda Buhun. Dalam
paradigma masyarakat Sunda Buhun, terutama ketika mengkaji dan menemukan
sejarah diri akan terungkap ada tiga unsur yang menyebabkan manusa
hirup jeung hurip, yakni unsur lahir (raga) ; bathin (hidup) dan kuring
(aku). Kuring atau aku bertindak sebagai driver bagi lahir dan bathin,
bagi raga jeung hirupna. Aku pula yang memanaje raga dan bathin.
Dari paradigma tersebut tentunya dapat
disimpulkan, bahwa nu gaib itu bukan sesosok makhluk yang ada diluar
dirinya, melainkan nu ngancik dina dirina.
Pemberi Perintah
Dalam jangjawokan, si pengguna bertindak
sebagai pemberi perintah bathin, paling tidak sebagai pihak yang
‘menginginkan’ sesuatu. Oleh para sastrawan diposisikan sebagai pihak
yang lebih kuat terhadap penerima perintah. Misalnya :
Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna
…………..
kakeureut ka sieup ku pohaci awaking
Nya aing mandahna
…………..
kakeureut ka sieup ku pohaci awaking
Atau :
Curuk aing curuk angkuh
Bisa ngangkuh putra ratu
……
mangka reret soreang
soreang ka badan awaking
……
mangka reret soreang
soreang ka badan awaking
Sipemberi perintah hemat saya tidak
selamanya memposisikan diri sebagai pihak yang lebih kuat, karena ada
juga kecenderungan kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai permohonan
atau himbauan, bukan perintah. Jika perhadapkan dengan yang kuat dan
yang lemah, maka sangat tepat jika ia sebagai pihak yang lebih rendah
dan sedang menginginkan sesuatu.
Tipe jangjawokan semacam diatas, seperti dibawah ini :
Jampe nyimpen Beas
Mangga Nyi Pohaci
Nyimas Alane Nyimas Mulane
Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
Abdi ngiringan …………….
Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
Abdi ngiringan …………….
Dari kalimat tersebut lebih jauh dari
unsur memerintah. Sekalipun menaruh harapan besar untuk melakukan. Namun
lebih tepay jika dikatagorikan membujuk untuk melakukan. Contoh
lainnya, seperti dalam Jampe ngisikan : Mangga Nyimas Alene Nyimas Mulane – Geura siram dibanyu mu’min – Di Talaga Kalkaosar – Abdi ngiringan ……dst”.
Saya menemukan beberapa kasus. Untuk
jenis jangjawokan tertentu, seperti pangabaran atau asihan, penyatuan
bathin dan kandungan jangjawokan dilakukan melalui proses ‘kuru cileuh
kentel peujit’. Mungkin ini untuk menumbuhkan kesungguhan dan keteguhan
hati serta keyakinan agar tujuan tersebut bisa dicapai. Dalam temuan
saya (mungkin suatu kebetulan), dilakukan pula oleh masyarakat yang
bukan penganut ajaran Sunda Buhun.
Cara-cara dan budaya demikian bukan hanya
dilakukan oleh ‘urang sunda buhun’ bahkan sampai sekarang masih ada
yang melakukannya. Misalnya melakukan dengan cara berpuasa dalam jumlah
hari tertentu ; melakukan wirid ; atau melakukan shalat malam. Sedangkan
ukuran keberhasilannya tidak sama dengan peta pengalaman seperti makan
rawit, langsung terasa pedasnya, atau bisa dinikmati.
Penekanan Perintah
Dalam jangjawokan sering ditemukan
pengulangan perintah atau semacam ‘penegasan perintah untuk
dilaksanakan’. Perintah ini bersifat imperatif atau persuasif, misalnya :
Bray padang, Bray caang
Caangna salalawasna,
lawasna Saumur kula
……………………………
mangka langgeng mangka tetep
mangka hurip kajayaan
Caangna salalawasna,
lawasna Saumur kula
……………………………
mangka langgeng mangka tetep
mangka hurip kajayaan
Kalimat ini tentunya bukan sekedar
penegasan, namun dapat juga diartikan sebagai kesungguhan untuk mencapai
apa yang dikehendakinya.
Penutup
Sebenarnya sangat sulit mendifinisikan
jangjawokan, kecuali dari kandungan keinginan yang termaktub didalam
jangjawokan itu sendiri. Jika dinyatakan meminta kepada makhluk gaib,
namun yang ditemukan adalah upaya menguatkan bathin, bahkan ada negasi
tentang eksistensi Tuhan. Kemudian, jika saja dinyatakan sebagai
perintah, itupun sulit diderfinisikan, mengingat ada pula jangjawokan
yang isinya memohon atau menghimbau.
Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan
rasa manusia Sunda. Memiliki akar kesejarahan yang mandiri. Sejalan
dengan perkembangan dan sejarah pemahaman tentang keyakinan dan sejarah
diri, bahkan pernah dirasakan manfaatnya. Jangjawokan bukan sekedar
puisi yang dapat dinikmati kata-katanya, namun sebagai sesuatu yang
diyakini memiliki kekuatan. Biarlah jangjawokan ‘diampihan’ sebagai
puisi, agar tidak hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.
Mun seug tea mah aya nu nyungsi rusiah
jangjawokan, dipaluruh nepi ka wates wangenna. Tinangtu bakal panggih
jeung sajatining hirup jeung huripna. Nu gaib lain makhluk nu misah tina
ingsunna. Nu ngulon, ngaler, ngetan jeung ngidul, lain nu nyengkal tina
pancerna. Sakabehna aya na hate jeung rasana, aya dina uteuk jeung
pikiranana. Ibarat gula jeung amisna, uyah jeung asinna, ngajirim
ngajadi hiji, kalawan tinekenan bakal kabuka rusiah, saha ari urang ?
timana ari urang ? jeung rek kamana ari urang ?. Sabab mun manusa geus
wawuh jeung dirina tinangtu bakal wawuh ka Gusti na.***
Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar