Truk, Bapak hilang, Bapak hilang!!!” suara cempreng yang sangat
dikenal Petruk, suara Gareng. Yang tergopoh-gopoh datang dengan nafas
terengah. “Romo Semar hilang, Romo Semar hilang!!!”
Petruk tersenyum-senyum saja sambil menikmati hisapan terakhir rokok
siongnya. Kemudian berdiri dan mengikat kayu bakar yang telah dibelahnya
“Hei… Romo Semar hilang! Romo Semar hilang! RomoSemar hilang!” Gareng
mengulang lagi dengan nada lebih sengit. “Apa sih yang dimaui si tua
udel bodong itu? Pakai acara ngilang segala. Apa dia memang nggak tahu
atau pura-pura nggak tahu kalau desa kita ini masih membutuhkan
keberadaannya? Desa kita yang semakin rusak ini membutuhkan
keprigelannya!”
Tapi Petruk memang selalu lebih cool dalam menanggapi permasalahan.
Dia hanya tersenyum sambil melirik kakaknya. Kemudian malah masuk ke
dalam rumah.
“Dasar Petruk Kanthong Bolong! Kamu ini memang nggak punya telinga!
Nggak punya perasaan! Nggak punya keprihatinan! Romo Semar hilang! Bapak
kita hilang! Dengar nggak sih kamu ini?” Atas nama segala kejengkelan,
kalimat Gareng jadi berbelok memaki adiknya.
Namun ketika sesaat kemudian Petruk keluar
membawa sebakul singkong rebus, Gareng mengembalikan kata-kata ke jalur
awal, “Bapak itu manja dan jual mahal. Sudah tua bangka masih pakai
acara ngambeg segala. Desa kita ini membutuhkan kepiawaian RomoSemar.
Kalau dia menghilang begini, seluruh penduduk desa menjadi yatim piatu
sejarah. Bahkan bukan hanya penduduk Karang Kedempel saja, tapi seluruh
alam semesta akan meratap. Menagisi nasibnya. Apakah dia jengkel kepada
Pak Kades, sehingga tidak mau lagi jadi Punakawan?”
Gareng mengambil sinkong, sekaligus dua biji, menggigit dan
mengunyahnya sambil meneruskan pidatonya, “Apakah Bapak menganggap Pak
Kades demikian tak pantasnya uantuk ditemani karena sudah sedemikian tak
tahu diri. Salahnya orang-orang juga sih, memanggil Bapak dengan
sebutan Ki Lurah Semar. Pak Lurah yang asli jadi jengkel, sehingga
sebutan Lurah diganti menjadi Kades!”
Sampai disini Petruk sadar keadaan, dia langsung mengambil singkong
rebus sekaligus tiga biji. Kalau keadaan tetap seperti ini, dia nggak
bakalan kebagian singkong. Karena Petruk sangat faham, sebentar lagi
Kang Gareng akan melanjutkan pidato kenegaraannya yang tentu akan sangat
panjang, serta diikuti dengan mengunyah semua singkong-singkong rebus
itu sampai habis.
“Apakah Bapak sudah memuntahkan kembali bumi dari perutnya? Apakah
dia sudah masuk kembali menyelusup ke dalam rahim Dewi Wirandi
ibundanya? Ataukah Semar sudah pupus di cahaya mata Sang Hyang Tunggal
ayahandanya yang memang sudah lama sekali dirindukannya?” Gareng
meneruskan bait-bait sajaknya sambil memasukkan gumpalan-gumpalan
singkong ke dalam mulutnya.
“Hidup Kang Gareng! Hidup Gareng! suiit.. suit” Petruk berteriak, bertepuk tangan, dan bersiul panjang.
Petruk merasa perlu memotong orasi Gareng. Karena kalau tidak, pidato
Gareng akan jadi berkepanjangan. Bahkan mungkin samapai berhari-hari
tanpa henti. Yang lebih dikhawatirkan oleh Petruk adalah bahwa hilangnya
Semar hanyalah refleksi khayalan kakaknya yang berhidung extra large
ini
Sekali lagi Petruk dibuat terheran-heran. Bagaimana mungkin di sebuah
dusun seperti Karang Kedempel ini ada orang seperti Gareng, yang
mempunyai wawasan mengagumkan melebihi punggawa-punggawa desa. Bahkan
pengetahuan Gareng lebih hebat ketimbang kemampuan Pak Kades sendiri.
Padahal Gareng ini tidak pernah makan bangku sekolahan
“Berapa sih cicilan utang yang harus Kang Gareng bayar hari ini? Debt colectornya sudah datang toh? ” tanya Petruk.
Mata Gareng semakin juling, “Kurang ajar kamu Truk, apa kamu kira aku ini pura-pura gila?”
“Atau barangkali Kang Gareng habis berantem sama Mbakyu?” tanya Petruk lagi.
“Sialan kamu, apa kamu anggap aku main-main? Heh, dengar ya! Buka telingamu lebar…”
“Dari dulu telingaku ya sebesar ini mana mungkin dibuat jadi lebih
lebar. Kang Gareng ini nganeh anehi lho,” Petruk memotong, sebelum
sumpah serapah kakaknya ini keluar. Dia ingin sedikit membuat kepala
Gareng lebih dingin. Dan berhasil!
Nada suara Gareng merendah, “Truk, apa jadinya dusun kita ini kalau Bapak menghilang tanpa pesan seperti ini?”
“Kang, Bapak tidak pernah dan tidak akan pernah hilang. Bapak tidak akan kemana-kemana kok. Tapi memang dia ada dimana mana”
“Lho, kamu mau adu filsafat dengan aku?” nada suara Gareng meninggi lagi.
“Adu filsafat bagaimana toh Kang?”
“Lha itu tadi, bicaramu seperti ahli filsafat saja, mungkin kamu
sudah mulai ketularan romo Semar, atau barangkali Bapak sudah merasuk
dalam ragamu ya Truk…”
“Hus…, Kang Gareng ini lho ada-ada saja, tubuhku yang kurus ini apa
ya muat dimasuki Bapak yang gedenya hampir sama dengan satu kontainer
peti kemas itu,” Petruk mencoba melumerkan ketegangan Gareng, tapi tidak
berhasil.
“Kita harus segera menemukan Bapak, Truk. Romo Semar harus
bertanggung jawab akan keadaan Dusun Kareng Kedempel saat ini. Ini semua
juga gara-gara ajarannya.”
“Ajaran Romo yang mana, Kang?”
“Romo Semar mengajarkan bahwa kita harus berjiwa besar dan rendah
hati. Saking merasuknya ajaran ini ke dalam jiwa setiap penduduk Karang
Kedempel, sampai-sampai mereka sulit membedakan mana kerendahan hati dan
mana yang namanya kesombongan,” Gareng duduk di atas lincak sembari
menaikkan satu kakinya. Tak lupa sambil mengunyah singkong rebus.
Kali ini Petruk memutuskan untuk membiarkan saja Si Gareng yang mulai
berancang-ancang berkhotbah. Bahasa tubuh kakaknya sudah sangat dikenal
oleh Petruk.
“Semar bilang bahwa penduduk Karang Kedempel adalah bangsa bibit
unggul, lebih dari itu: dalam konteks evolusi pemikiran, kebudayaan dan
peradaban- kita adalah bangsa garda depan, avant garde nation, yang
derap sejarahnya selalu berada beberapa langkah di depan bangsa-bangsa
lain di muka bumi.”
“Bapak juga bilang, bahwa pakar dunia di bidang ilmu sosial, ilmu
ekonomi, politik dan kebudayaan, sudah terbukti “terjebak” dalam
mempersepsikan apa yang sesungguhnya terjadi pada bangsa kita. Penduduk
seluruh dunia membayangkan Karang Kedempel adalah kampung-kampung kumuh,
banyak orang terduduk di tepi jalan karena busung lapar, mayat-mayat
bergeletakan, perampok di sana sini, orang berbunuhan karena berbagai
macam sebab. Negeri yang penuh duka dan kegelepan.” Sekali tarikan
nafas, dan Gareng melanjutkan orasinya.
“Padahal di muka buni ini mana ada orang yang bersuka ria melebihi
warga Karang Kedempel. Tak ada orang bersuka ria melebihi orang Karang
Kedempel. Tak ada masyarakat berpesta, tertawa-tawa, jagongan, kenduri,
serta segala macam bentuk kehangatan hidup melebihi kebiasaan masyarakat
kita. Tak ada anggaran biaya pakaian dinas pejabat melebihi yang ada di
Karang Kedempel. Tak ada hamparan mobil-mobil mewah melebihi yang
terdapat di dusun kita ini. Import sepeda motor apa saja dijamin laku,
berapa juta pun yang kau datangkan kenegeri ini.”
“Kata Romo Semar lagi, bahwa penduduk dunia menyangka kita sedang
mengalami krisis, padahal berita tentang krisis dudun kita adalah suatu
ungkapan kerendahan hati. Penduduk dunia sering tidak mengerti retorika
budaya masyarakat kita. kalau kita bilang “silahkan mampir ke gubug
saya” -mereka menyangka yang kita punya adalah gubug beneren, padahal
rumah kita adalah Istana, yang Gubernur di Argentina dan Menteri di
Mesir pun tak punya macam kita punya”
“Kalau kita bilang kalau dusun kita sedang krisis, itu adalah
semacamp tawadlu’ sosial, suatu sikap yang menghindarkan diri dari sikap
sombong. Kalau pemerintah kita terus berhutang trilyunan dolar, itu
strategi agar kita disangaka miskin. Itu taktik agar dunia meremehkan
kita. Karena kita punya prinsip religius bahwa semakin kita direndahkan
oleh manusia, smakin tinggi derajat kita dihadapan Allah. Semakin kita
diperhinakan oleh manusia di muka bumi, semakin mulia posisi kita di
langit.”
“Dulu ketika Kades kita seorang yang buta, sejumlah orang di luar
dusun mengejek kita: Apa dari 210 juta penduduk dusunmu tidak ada lagi
seorang pun yang punya kemampuan menjadi Kades sehingga harus mengangkat
seorang pimpinan pesantren yang buta? Ketika kemudian kita mempunya
seorang Ibu Kades sebagai pemimpin dusun ini, mereka juga bertanya
dengan sinis: Apa penduduk dusunmu itu 99% wanita sehingga tidak ada
satu lelakipun yang mungkin menjadi Kades?”
“Aneh memang bahwa bangsa-bangsa di luar Karang Kedempel yang katanya
lebih terpelajar dan lebih beradap ternyata hanya memiliki pemikiran
linier dan tingkat kecerdasannya tidak bisa diandalkan. Mereka tidak
punya fenomena budaya sanepo, misalnya. Juga tak punya pekewuh. Kita
sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi dan berperadaban unggul –
tidaklah akan pernah memilih suatu sikap sosial yang gemedhe atau
adigang adigung adiguna. Kita tak akan pernah pamer keunggulan kepada
bangsa lain, dan itulah justru tanda keunggulan budaya kita. Kita tidak
akan mencari kepuasan hidup dengan melalui sikap ngendas-sendasi bangsa
lain. Kita adalah bangsa yang memiliki kemuliaan batin karena sanggup
memprakekkan budaya andap asor, budaya rendah hati.”
“Jangankan soal Kepala Desa. Tim nasional sepakbola kita pun
dirancang sedemikian rupa sehingga jangan sampai menangan atas
kesebelasan bangsa bangsa lain. Sudah berpuluh tahun kita mempraktekkan
filosofi ngalah kuwi dhuwur wekasanane, mengalah itu luhur derajatnya.
Olah raga bulutangkis yang dulu dusun kita pernah membuktikan sebagai
bangsa yang tidak bisa dikalahkan oleh tim dari bangsa manapun termasuk
Cina yang berpenduduk 1,2 milyar. Sekarang kita menyesal kenapa
mempermalukan Cina, sehingga bulutangkis kita sekarang kita bikin bagus,
tapi sering mengalah…” Terengah-engah Gareng menyelesaikan
kalimat-kalimatnya
“Coba bayangkan Truk, ajaran Romo Semar yang macam itu apa tidak
terlalu tinggi untuk dicerna warga Karang Kedempel? Bukannya mereka jadi
rendah hati, bahkan sebaliknya, mereka semakin sombong”
“Wah, jadi Kang Gareng menganggap tingat kecerdasan warga Karang
Kedempel masih dibawah standart untuk bisa menyerap ilmu Romo Semar,
begitu?”
“Lha wong Gareng itu memang goblog kok, sama goblognya dengan Semar,
kamu jangan ikut-ikutan goblog Truk!!!” Tiba-tiba Gareng dan Petruk
dikejutkan oleh suara parau, sengau dan kalimatnya sangat tidak sopan.
Suara dan gaya bahasa yang sudah sangat mereka kenal. Dan mereka
segera sadar bahwa sudah ada sosok ketiga berada diantara mereka.
Makhluk berbadan bulat tak berbentuk, seakan hanya onggokan daging.
Bermata sebesar baskom, hidung pesek, mulut lebar sampai ke telinga.
Siluetnya sekilas mirip Semar. Dia adalah Bagong, anak bungsu Semar.
Dan yang membuat Gareng dan Petruk lebih terkejut adalah singkong
yang masih tersisa kira-kira sepuluh biji langsung habis sekali tenggak
kedalam mulut Si Bagong.
Petruk hanya tersenyum, lain halnya dengan Gareng, “Kampret! Anak
nggak kenal sopan santun! Manggil orang tua yang sopan! Panggil dengan
sebutan Bapak atau Romo, jangan asal panggil Semar Semar! Romo Semar itu
bapak kita, tahu nggak?”
“Lha wong namanya Semar kok minta dipanggil Romo, Semar ya Semar,” Bagong memang selalu apa adanya.
“Duh Gusti nyuwun ngapuro, tunjukkanlah bagaimana caranya menyadarkan
dan mengajarkan kebudayaan kepada seekor munyuk ini…” juling mata
Gareng semakin menjadi-jadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar