BUNCIR leuit, lucir duit. Demikian
sepenggal kalimat yang diucapkan Pemimpin Adat Ciptagelar, Abah Ugi
Sugriana Rakasiwi. Kalimat itu menerangkan pentingnya menjaga ketahanan
pangan guna menyejahterakan kehidupan warga adatnya. Sebab, dengan
buncir leuit (lumbung padi terisi penuh) akan bisa menjaga stok pangan
untuk kebutuhan masyarakatnya. Tidak heran jika pertanian menjadi mata
pencaharian utama warga adat Ciptagelar.
ciptagelar2
Selain bercocok tanam padi, masyarakat di
sana pun menanam berbagai macam sayuran dan buah-buahan untuk dijual ke
pasaran hingga menghasilkan uang. Hal itulah yang dimaknai dari lucir
duit. Melalui pertanian padi serta penanaman berbagai jenis tanaman
hortikultura itu, warga adat mampu membangun perekonomiannya secara
mandiri. Hal itu dilakukan dengan penuh rasa kebersamaan dan
kekeluargaan dalam koridor adat istiadat dan budaya.
“Untuk memasarkan sayuran dan produk pertanian lainnya tidak sulit, selalu ada permintaan dari Bandung. Terutama gula semut produksi dari sini, paling banyak dibeli hotel dan restoran besar karena banyak disukai wisatawan asing,” kata Abah Ugi didampingi Bayu, humas warga adat dari baris koboi, Sabtu (5/1).
Untuk mengambil air lahang pun, tidak boleh dilakukan sembarang orang. Harus orang tertentu, yang bersih diri dan sabar dalam merawat tanaman aren. Jika tidak, air lahangnya sulit keluar.
Namun, khusus untuk padi, warga tidak diperbolehkan menjualnya. Larangan itu bertujuan untuk menjaga ketahanan pangan warga adat.
DI kampung adat yang kini berpenduduk 36.000 jiwa itu memang terdapat banyak leuit. Hampir semua kepala keluarga warga adat di 569 kampung memiliki leuit sebagai tempat untuk menyimpan padi hasil panen. Bahkan, tepat di samping imah gede, terdapat leuit “Si Jimat”. Leuit itulah yang kemudian dipercaya sebagai simbol kemakmuran warga adat Ciptagelar.
Sesuai dengan tradisi adat istiadat dan budaya masyarakat di sana, setiap tahunnya diselenggarakan acara “Seren Taun”. Acara tersebut sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, atas berkah hasil panen padi yang melimpah. Acara “Seren Taun” Kp. Ciptagelar, digelar setahun sekali setiap tanggal 3 Agustus. Gelaran acara “Seren Taun” pada 2007 lalu adalah “Seren Taun” yang ke-639, sejak dilakukan pertama kali pada tahun 1368. “Seren Taun” tersebut, bertema “Nyorang Alam Katukang, Nyawang Alam Anu Bakal Datang”.
Dalam acara puncak, dilakukan prosesi adat memasukkan hasil panen padi ke dalam “Leuit Si Jimat”. Prosesi itu dilaksanakan secara sakral oleh pemimpin adat. Sebagai contoh, pada tahun 2007, prosesi dilaksanakan oleh Abah Anom Encup Sucipta, ayahanda Abah Ugi.
Walaupun panen hanya setahun sekali, namun padi yang dihasilkan sangat memuaskan. Hal itu ditandai oleh tingkat produktivitas padi yang rata-rata 5-6 ton/hektare. Sedangkan luas lahan sawah yang diolah warga adat, seluruhnya diperkirakan mencapai 70.000 hektare.
Hasil panen yang memuaskan itu, tak lain di-mulai dari tata cara menebar benih padi, memanen hasil, hingga menyimpannya di dalam leuit, yang dilakukan begitu apik dan telaten. Begitu kuatnya ketahanan pangan di kampung adat itu, tak heran, bila Juendi (45), salah seorang warga adat yang tinggal Kp. Cipulus, Ds. Sinarresmi, Kec. Cisolok, sangat yakin bahwa di kampungnya tidak akan pernah terkena rawan pangan ataupun rawan daya beli. Apalagi, hampir semua warga adat memiliki sawah. Masing-masing dari mempunyai stok beras serta padi yang disimpan di leuit.
Terpenuhinya kebutuhan pangan itu, dapat dirasakan dan terlihat langsung oleh “PR” ketika melakukan peliputan. Setiap tamu yang datang, langsung dipersilakan menyantap makanan yang sudah disiapkan panitia sebelumnya. Tak hanya makan, berbagai hidangan dan pe-nganan khas Sunda, lengkap tersedia untuk menjamu para tamu, sekalipun jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan orang.
Uniknya lagi, semua penganan yang tersedia di meja panjang, tak pernah sampai kehabisan. Untuk air minum saja, tak pernah terlihat ada gelas kosong. Ketika habis, dengan sigap ibu-ibu rumah tangga yang bertugas menyediakan makanan, langsung menggantinya dengan yang baru. Dalam hal menjamu dan menghormati tamu pun, mereka melakukannya dengan penuh kebersamaan.
“Yang utama di kampung adat ini adalah bertanam padi. Kalau ada tamu jangan takut kelaparan, karena saking banyaknya stok beras yang dimiliki warga. Di sini mah, lebih baik meminta, daripada membeli nasi. Padi yang disimpan di leuit pun, jangan takut dicuri, karena di sini sudah pada tahu sanksi adatnya,” kata Juendi.
Menanggapi hal itu, Dirut Pikiran Rakyat, H. Syafik Umar merasa takjub dan kagum ketika melihat kebersamaan, kekeluargaan serta sistem kemasyarakatan warga adat Ciptagelar yang begitu terjalin erat dalam berbagai bidang kehidupan. Tak terkecuali, membangun perekonomian masyarakat khususnya dalam menjaga ketahanan pangan. Deretan leuit yang banyak ditemui di lingkungan sekitar rumah warga, sebagai cermin dari ketahanan pangan di daerah adat itu. “Sungguh saya merasa takjub saat melihat deretan leuit ini. Ketika saya pegang salah satunya, terasa isinya begitu padat. Berapa pun isinya, yang pasti persediaan pangan yang ada di dalam leuit ini, sebagai simbol kemakmuran rakyat. Jarang sekali saya menemukan lumbung padi yang begitu padat seperti di sini, ” tutur H. Syafik Umar dengan nada kagum.
Ketahanan pangan dengan ciri leuit di Ciptagelar ini, kata dia, sebagai bagian dari perekonomian mereka yang dibangun melalui kebersamaan. Perekonomian warga adat ini layaknya dicontoh oleh kampung dan desa lainnya. “Sebab, mereka bersama-sama membangun perekonomiannya secara mandiri,” katanya.
Tidak hanya itu, hati nurani mereka begitu tulus ikhlas dan terbuka ketika menerima dan menjamu para tamu yang datang. Selain itu, melalui tradisi “ngarempug” yang menjadi bagian dari rangkaian acara pernikahan Abah Ugi, merupakan wujud kegembiraan mereka. Begitupula kesenian rakyat dan budaya lainnya, seperti kesenian dogdog lojor, rengkong, tari jipeng, wayang golek, dan hiburan rakyat lainnya. “Semua ini merupakan bagian dari kehidupan dan budaya mereka. Bagaimanapun juga, kita harus ngamumule budaya kita sendiri. Sebab melalui budaya ini, sebagai wujud dari kemandirian masyarakatnya dalam nanjerkeun komara budaya Sunda. Sudah 600 tahun budaya adat Ciptagelar ini lestari, sehingga menjadi catatan sejarah bagi Jabar dan Banten,” katanya. (Adang Jukardi/”PR”)***
“Untuk memasarkan sayuran dan produk pertanian lainnya tidak sulit, selalu ada permintaan dari Bandung. Terutama gula semut produksi dari sini, paling banyak dibeli hotel dan restoran besar karena banyak disukai wisatawan asing,” kata Abah Ugi didampingi Bayu, humas warga adat dari baris koboi, Sabtu (5/1).
Untuk mengambil air lahang pun, tidak boleh dilakukan sembarang orang. Harus orang tertentu, yang bersih diri dan sabar dalam merawat tanaman aren. Jika tidak, air lahangnya sulit keluar.
Namun, khusus untuk padi, warga tidak diperbolehkan menjualnya. Larangan itu bertujuan untuk menjaga ketahanan pangan warga adat.
DI kampung adat yang kini berpenduduk 36.000 jiwa itu memang terdapat banyak leuit. Hampir semua kepala keluarga warga adat di 569 kampung memiliki leuit sebagai tempat untuk menyimpan padi hasil panen. Bahkan, tepat di samping imah gede, terdapat leuit “Si Jimat”. Leuit itulah yang kemudian dipercaya sebagai simbol kemakmuran warga adat Ciptagelar.
Sesuai dengan tradisi adat istiadat dan budaya masyarakat di sana, setiap tahunnya diselenggarakan acara “Seren Taun”. Acara tersebut sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, atas berkah hasil panen padi yang melimpah. Acara “Seren Taun” Kp. Ciptagelar, digelar setahun sekali setiap tanggal 3 Agustus. Gelaran acara “Seren Taun” pada 2007 lalu adalah “Seren Taun” yang ke-639, sejak dilakukan pertama kali pada tahun 1368. “Seren Taun” tersebut, bertema “Nyorang Alam Katukang, Nyawang Alam Anu Bakal Datang”.
Dalam acara puncak, dilakukan prosesi adat memasukkan hasil panen padi ke dalam “Leuit Si Jimat”. Prosesi itu dilaksanakan secara sakral oleh pemimpin adat. Sebagai contoh, pada tahun 2007, prosesi dilaksanakan oleh Abah Anom Encup Sucipta, ayahanda Abah Ugi.
Walaupun panen hanya setahun sekali, namun padi yang dihasilkan sangat memuaskan. Hal itu ditandai oleh tingkat produktivitas padi yang rata-rata 5-6 ton/hektare. Sedangkan luas lahan sawah yang diolah warga adat, seluruhnya diperkirakan mencapai 70.000 hektare.
Hasil panen yang memuaskan itu, tak lain di-mulai dari tata cara menebar benih padi, memanen hasil, hingga menyimpannya di dalam leuit, yang dilakukan begitu apik dan telaten. Begitu kuatnya ketahanan pangan di kampung adat itu, tak heran, bila Juendi (45), salah seorang warga adat yang tinggal Kp. Cipulus, Ds. Sinarresmi, Kec. Cisolok, sangat yakin bahwa di kampungnya tidak akan pernah terkena rawan pangan ataupun rawan daya beli. Apalagi, hampir semua warga adat memiliki sawah. Masing-masing dari mempunyai stok beras serta padi yang disimpan di leuit.
Terpenuhinya kebutuhan pangan itu, dapat dirasakan dan terlihat langsung oleh “PR” ketika melakukan peliputan. Setiap tamu yang datang, langsung dipersilakan menyantap makanan yang sudah disiapkan panitia sebelumnya. Tak hanya makan, berbagai hidangan dan pe-nganan khas Sunda, lengkap tersedia untuk menjamu para tamu, sekalipun jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan orang.
Uniknya lagi, semua penganan yang tersedia di meja panjang, tak pernah sampai kehabisan. Untuk air minum saja, tak pernah terlihat ada gelas kosong. Ketika habis, dengan sigap ibu-ibu rumah tangga yang bertugas menyediakan makanan, langsung menggantinya dengan yang baru. Dalam hal menjamu dan menghormati tamu pun, mereka melakukannya dengan penuh kebersamaan.
“Yang utama di kampung adat ini adalah bertanam padi. Kalau ada tamu jangan takut kelaparan, karena saking banyaknya stok beras yang dimiliki warga. Di sini mah, lebih baik meminta, daripada membeli nasi. Padi yang disimpan di leuit pun, jangan takut dicuri, karena di sini sudah pada tahu sanksi adatnya,” kata Juendi.
Menanggapi hal itu, Dirut Pikiran Rakyat, H. Syafik Umar merasa takjub dan kagum ketika melihat kebersamaan, kekeluargaan serta sistem kemasyarakatan warga adat Ciptagelar yang begitu terjalin erat dalam berbagai bidang kehidupan. Tak terkecuali, membangun perekonomian masyarakat khususnya dalam menjaga ketahanan pangan. Deretan leuit yang banyak ditemui di lingkungan sekitar rumah warga, sebagai cermin dari ketahanan pangan di daerah adat itu. “Sungguh saya merasa takjub saat melihat deretan leuit ini. Ketika saya pegang salah satunya, terasa isinya begitu padat. Berapa pun isinya, yang pasti persediaan pangan yang ada di dalam leuit ini, sebagai simbol kemakmuran rakyat. Jarang sekali saya menemukan lumbung padi yang begitu padat seperti di sini, ” tutur H. Syafik Umar dengan nada kagum.
Ketahanan pangan dengan ciri leuit di Ciptagelar ini, kata dia, sebagai bagian dari perekonomian mereka yang dibangun melalui kebersamaan. Perekonomian warga adat ini layaknya dicontoh oleh kampung dan desa lainnya. “Sebab, mereka bersama-sama membangun perekonomiannya secara mandiri,” katanya.
Tidak hanya itu, hati nurani mereka begitu tulus ikhlas dan terbuka ketika menerima dan menjamu para tamu yang datang. Selain itu, melalui tradisi “ngarempug” yang menjadi bagian dari rangkaian acara pernikahan Abah Ugi, merupakan wujud kegembiraan mereka. Begitupula kesenian rakyat dan budaya lainnya, seperti kesenian dogdog lojor, rengkong, tari jipeng, wayang golek, dan hiburan rakyat lainnya. “Semua ini merupakan bagian dari kehidupan dan budaya mereka. Bagaimanapun juga, kita harus ngamumule budaya kita sendiri. Sebab melalui budaya ini, sebagai wujud dari kemandirian masyarakatnya dalam nanjerkeun komara budaya Sunda. Sudah 600 tahun budaya adat Ciptagelar ini lestari, sehingga menjadi catatan sejarah bagi Jabar dan Banten,” katanya. (Adang Jukardi/”PR”)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar