Masyarakat Jawa Barat yang mayoritas
beretnis Sunda memiliki lambang daerah berupa gambar yang di tengahnya
menampilkan senjata tradisional yang disebut kujang. Kujang adalah
senjata tradisional berupa senjata tajam yang bentuknya menyerupai
keris, parang, dengan bentuk unik berupa tonjolan pada bagian
pangkalnya, bergerigi pada salah satu sisi di bagian tengahnya dan
bentuk lengkungan pada bagian ujungnya. Bagi masyarakat Sunda, kujang
lebih umum dibandingkan dengan keris.
Kujang tidak hanya dipakai untuk lambang daerah tapi juga dipakai untuk nama perusahaan (Pupuk Kujang, Semen Kujang), nama kampung (Parungkujang, Cikujang, Kujangsari, Parakankujang), nama batalion (Batalyon Kujang pada Kodam III/Siliwangi), nama tugu peringatan (Tugu Kujang di Bogor, Tugu Kujang Bale Endah), dan lain-lain.Popularitas kujang bagi masyarakat etnis Sunda sudah tidak disangsikan lagi. Akan tetapi, ironisnya, eksistensi kujang baik sebagai perkakas maupun sebagai pusaka mulai sirna. Kujang kini hanya berada di museum-museum dengan jumlah yang relatif sedikit dan dimiliki oleh para sesepuh atau budayawan yang masih mencintai kujang sebagai pusaka leluhurnya.Pada masyarakat etnis Sunda ada kelompok yang masih akrab dengan kujang dalam pranata kehidupan sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” yang tersebar di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor, di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, dan masyarakat Sunda Wiwitan Urang Kanekes (Baduy) di Kabupaten Lebak.Kujang (Kujang Pamangkas) dalam lingkungan budaya mereka masih digunakan untuk upacara nyacar (menebang pohon untuk lahan huma) setahun sekali. Sebagai patokan pelaksanaan nyacar tersirat dalam ungkapan unggah kidang turun kujang yang artinya jika bintang kidang (orion) muncul di ufuk timur waktu subuh, pertanda waktu nyacar telah tiba dan kujang digunakan sebagai pembuka kegiatan perladangan.Bukti keberadaan kujang diperoleh dari naskah kuno di antaranya Serat Manik Maya dengan istilah kudi, Sanghyang Siksakandang Karesian dengan istilah kujang, dan dari berita pantun Pajajaran Tengah (Pantun Bogor).
Kujang tidak hanya dipakai untuk lambang daerah tapi juga dipakai untuk nama perusahaan (Pupuk Kujang, Semen Kujang), nama kampung (Parungkujang, Cikujang, Kujangsari, Parakankujang), nama batalion (Batalyon Kujang pada Kodam III/Siliwangi), nama tugu peringatan (Tugu Kujang di Bogor, Tugu Kujang Bale Endah), dan lain-lain.Popularitas kujang bagi masyarakat etnis Sunda sudah tidak disangsikan lagi. Akan tetapi, ironisnya, eksistensi kujang baik sebagai perkakas maupun sebagai pusaka mulai sirna. Kujang kini hanya berada di museum-museum dengan jumlah yang relatif sedikit dan dimiliki oleh para sesepuh atau budayawan yang masih mencintai kujang sebagai pusaka leluhurnya.Pada masyarakat etnis Sunda ada kelompok yang masih akrab dengan kujang dalam pranata kehidupan sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” yang tersebar di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor, di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, dan masyarakat Sunda Wiwitan Urang Kanekes (Baduy) di Kabupaten Lebak.Kujang (Kujang Pamangkas) dalam lingkungan budaya mereka masih digunakan untuk upacara nyacar (menebang pohon untuk lahan huma) setahun sekali. Sebagai patokan pelaksanaan nyacar tersirat dalam ungkapan unggah kidang turun kujang yang artinya jika bintang kidang (orion) muncul di ufuk timur waktu subuh, pertanda waktu nyacar telah tiba dan kujang digunakan sebagai pembuka kegiatan perladangan.Bukti keberadaan kujang diperoleh dari naskah kuno di antaranya Serat Manik Maya dengan istilah kudi, Sanghyang Siksakandang Karesian dengan istilah kujang, dan dari berita pantun Pajajaran Tengah (Pantun Bogor).
Kujang adalah pusaka tradisi Sunda,
sejarah yang menceritakan awal keberadaannya masih belum terungkap.
Kalau saja Kerajaan Salakanagara yang merupakan kerajaan tertua di Jawa
sebagai cikal bakal lahirnya kujang, diyakini keberadaan kujang sudah
sangat tua. Alasan tersebut diperkuat bahwa apabila kujang yang
diperkirakan sebagai alat perladangan atau pertanian maka Kerajaan
Tarumanegara pada abad IV sudah mampu menata sistem pertanian secara
baik dengan dibangunnya sistem irigasi untuk perladangan dan pertanian,
mungkin kujang sudah hadir dalam konteks perkakas perladangan atau
perkakas pertanian dalam pranata sosial budaya masyarakat pada saat itu.
Kujang diakui keberadaannya sebagai senjata khas masyarakat etnis
Sunda. Kujang merupakan warisan budaya Sunda pramodern.Kujang merupakan
senjata, ajimat, perkakas, atau benda multifungsi lainnya yang memiliki
berbagai ragam bentuk yang menarik secara visual. Kujang dengan
keragaman bentuk gaya dengan variasi-variasi struktur papatuk, waruga,
mata, siih, pamor, dan sebagainya sangat artistik dan menarik untuk
dicermati karena struktur bentuk tersebut belum tentu ada dalam senjata
lainnya di nusantara. Kujang sebagai senjata yang memiliki keunggulan
visual tadi sekaligus mengundang pertanyaan apakah dalam struktur
estetik kujang tadi memiliki makna dan simbol? Berbagai pendapat dari
berbagai tokoh masyarakat mengarah ke sana.Kujang koleksi
SumedangSejarah kerajaan yang tumbuh di Sumedang pada masa lalu erat
kaitannya dengan Kerajaan Pajajaran. Koleksi kujang Pajajaran yang
dimiliki Museum Prabu Geusan Ulun relatif banyak bahkan mungkin paling
banyak jika dibandingkan dengan museum-museum yang ada di Jawa Barat
atau Indonesia sekalipun. Kujang-kujang tersebut beragam varian Kujang
Ciung, beragam varian Kujang Naga, Kujang Kuntul, Kujang Pamangkas,
Kujang Wayang, dan sebagainya.Kujang-kujang yang tersimpan cukup
terpelihara dengan baik di mana fisik waruga, pamor, siih, dan mata
kujang masih banyak yang utuh. Bahkan, persepsi dari kebanyakan
masyarakat bahwa semua kujang berlubang terbantahkan dengan masih adanya
beberapa koleksi kujang di museum ini yang masih memiliki penutup
lobang atau penutup mata. Mungkin hilangnya penutup lobang karena
penutup lobang terbuat dari bahan-bahan yang bernilai seperti
logam-logam mulia, permata, dan sejenisnya. Hilangnya pun mungkin
diambil atau jatuh akibat dari ceruk lubangnya yang korosif.Kujang
merupakan produk budaya masyarakat peladang. Penamaannya cenderung pada
makhluk-makhluk yang banyak hidup di daerah ladang seperti Kujang Ciung
dari burung Ciung, Kujang Naga dari ular, Kujang Bangkong dari kodok,
Kujang Kuntul dari burung kuntul. Bahkan, Kujang Wayang diperkirakan
sebagai simbol untuk kesuburan.Tokoh wanita pada kujang wayang
mengingatkan pada simbol-simbol kesuburan, misalnya patung purba Venus
Willendorf di Eropa yang berbentuk manusia berperawakan subur sebagai
simbolisasi kesuburan. Tokoh Dewi Sri dikenal sebagai dewi kesuburan.
Mencermati secara fisik Kujang Wayang ini pun yang tidak memiliki sisi
tajam di bagian tonggong dan beuteung yang mungkin sangat berbeda dengan
kujang lainnya (kujang dua pangadekna/kujang memiliki dua sisi yang
tajam) diperkirakan untuk kepentingan upacara yang erat kaitannya dengan
kepentingan kesuburan.
Kujang yang dikenal oleh masyarakat kita
pada umumnya adalah Kujang Ciung. Pada lambang daerah, pada lambang
perusahaan pupuk dan semen, pada lambang batalion, pada tugu-tugu dan
lain-lain tampak jelas mengindikasi pada bentuk Kujang Ciung. Padahal,
kujang memiliki beragam bentuk dan nama yang menyesuaikan bentuk
tersebut. Beragam bentuk dan nama diperkirakan memiliki simbol yang
dipakai dalam tatanan masa keemasan kujang yaitu masa kerajaan Sunda
Pajajaran.Istilah kujang sendiri memiliki banyak penafsiran, salah
satunya ada yang mengatakan bahwa kujang berasal dari kata kudi dan
hyang yaitu kudi yang dianggap disucikan. Hal tersebut mengacu pada
perkembangan senjata kudi yang banyak ditemukan di daerah Pulau Jawa dan
Madura. (Suryadi Maskat, S.Pd., M.Sn., dosen Pendidikan Seni Rupa FPBS
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar