Sudah berabad-abad
Petruk menyaksikan perubahan jaman. Berjuta-juta tingkah-polah manusia
dia saksikan. Ratusan generasi sudah dia lalui. Tetap saja dia tak bisa
paham sepenuhnya bagaimana jalan fikiran makhluk yang bernama manusia.
Sebagai salah satu punakawan. Petruk sudah
mengabdi kepada puluhan”ndoro” (tuan), sejak jaman Wisnu pertama kali
menitis ke dunia. Hingga saat Wisnu menitis sebagai Arjuna Sasrabahu,
menitis lagi sebagai Rama Wijaya, menitis lagi sebagai Sri Kresna.
Petruk hanya bisa tersenyum kadang tertawa
geli, dan sesekali melancarkan nota protes akan kelakuan “ndoro-ndoro”
(tuan-tuan)-nya yang sering kali tak bisa diterima nalar. Tapi ya memang
hanya itu peran Petruk di mayapada ini. Dia tidak punya wewenang lebih
dari itu. Meskipun sebenarnya kesaktian Petruk tidak akan mampu
ditandingi oleh tuannya yang manapun juga.
Berbeda dengan Gareng yang meledak-ledak
dalam menanggapi kegilaan mayapada, berbeda pula dengan Bagong yang sok
cuek dan selalu mengabaikan tatakrama. Petruk berusaha lebih realistis
dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi. Meskipun nyeri dadanya
acapkali muncul saat melihat kejadian-kejadian hasil rekayasa
ndoro-ndoro nya.
Siang itu Petruk sedang membelah kayu
bakar, guna keperluan memasak isterinya. Sudah seminggu lebih pasokan
elpiji murah dan minyak tanah tak sampai ke desanya.
Di desa Karang Kedempel jaman kontemporer seperti
saat ini apapun bisa saja terjadi. Harga beras yang tiba-tiba melonjak
melebihi harga anggur Amerika. Minyak goreng yang mendadak menguap di
pasaran. Bahkan beberapa dekade yang lalu, orang-orang yang suka protes
pun bisa saja mendadak lenyap tanpa bekas. Dan semua pasti akan
ditanggapi oleh penguasa Karang Kedempel dengan mengeluarkan “press
release”sebagai sebuah “dinamika pembangunan”
Kelangkaan bahan bakar di pasaran,
melonjaknya harga sembako, mahalnya biaya pendidikan. Yang berujung pada
melebarnya jurang perbedaan kaya-miskin. Adalah hal yang selalu saja
terjadi dari jaman ke jaman. Keadaan masyarakat yang “gemah ripah loh
jinawi toto tentrem kerto tur raharjo” hanyalah sebuah utopia. Yang
sering dikatakan kyai-kyai di langgar-langgar dan surau negara yang
“baldatun thoyyibatun wa robbun gofuur ” hanyalah sekedar lips service
semata.
Seperti yang sudah diduga oleh Petruk,
Kang Gareng pasti memberikan reaksi dengan caranya sendiri. Hari ini
adalah hari ketiga Gareng berorasi di depan Poskamling, sejak pagi
hingga matahari hampir tenggelam. Berusaha menarik perhatian semua warga
desa.
“Saudara-saudaraku, mengapa semua ini bisa
terjadi?” dengan cengkok khas ala Kang Gareng. “Desa kita ini sedang
mengalami degradasi moral dan dekadensi kepribadian. Kebijakan pamong
desa kita tidak terarah dan miskin inovasi.”
“Seharusnya kita mulai introspeksi,
mengevaluasi situasi dan berani melakukan redifinisi. Sehingga kita bisa
meberikan sebuah revitalisasi menuju suatu solusi definitif, guna
mendapatkan outcome terbaik dari apa yang kita harapkan”, bagaikan orang
kesurupan Gareng berorasi tanpa henti. Tak perduli apakah orang-orang
yang berkumpul mengerti apa yang diomongkannya.
Petruk tak habis pikir, dari mana Gareng
mendapatkan perbendaharaan kata dan kalimat yang tak ubahnya anggota
DPR. Padahal Gareng tidak pernah “makan” bangku sekolahan. Memang orang
pintar tidak selalu terkenal dan orang terkenal tidak selalu pintar,
tapi Petruk tahu persis bahwa Gareng tidak termasuk diantara keduanya.
Petruk sudah hafal betul dengan model
paham kekuasaan di Karang Kedempel dari waktu ke waktu. Kalau mau,
sebenarnya bisa saja Petruk mengamuk dan menghajar siapa saja yang
dianggap bertanggung jawab atas kesemrawutan pemerintahan. Dengan
kesaktiannya, apa yang tak bisa dilakukan Petruk, bahkan (dulu) pernah
terjadi, Sri Kresna hampir saja musnah menjadi debu dihajar anak Kyai
Semar ini.
Tapi Petruk sudah memutuskan untuk
mengambil posisi sebagai punakawan yang resmi. Dia sudah bertekat tidak
lagi mengambil tindakan konyol seperti yang dulu sering dia lakukan.
Baginya, kemuliaan seseorang tidak terletak pada status sosial.
Pengabdian tidak harus dengan menempati posisi tertentu.
Seperti yang terjadi pada episode “Petruk Dadi Ratu”
contohnya, sebagai Prabu Kanthong Bolong, Petruk dia melabrak semua
tatanan yang sudah terlanjur menjadi “main stream” model kekuasaan di
mayapada. Dia menjungkirbalikkan anggapan umum, bahwa penguasa boleh
bertindak semaunya, bahwa raja punya hak penuh untuk berlaku adil atapun
tidak.
Karuan saja, Ulah Prabu Kanthong Bolong
membuat resah raja-raja lain. Bahkan, kahyangan Junggring Saloka pun
ikut-ikutan gelisah. Kawah Candradimuka mendidih perlambang adanya
“ontran-ontran” yang membahayakan kekuasaan para dewa.
Maka secara aklamasi disepakati, skenario
“mengeliminir” raja biang keresahan. Persekutuan raja dan dewa dibentuk,
guna melenyapkan suara sumbang yang mengganggu alunan irama yang sudah
terlanjur dianggap indah.
Hasilnya? Ibarat jauh panggang dari api.
Bukannya Kanthong Bolong yang mati. Tapi
raja jadi-jadian Petruk ini malah mengamuk. Siapapun yang mendekat
dihajarnya habis-habisan. Kresna dan Baladewa dibuat babak belur. Batara
Guru sang penguasa kahyangan lari terbirit-birit.
Kesaktian dan semua ajian milik dewa-dewa
dan raja-raja, seperti tak ada artinya menghadapi Kanthong Bolong. Tahta
Jungring Saloka pun dikuasai raja murka ini.
Keadaan semakin semrawut. Sampai akhirnya Semar Bodronoyo turun tangan.
“Ngger, Petruk anakku!”, Semar berujar
pelan, suaranya serak dan berat seperti biasanya. “Jangan kau kira aku
tidak mengenalimu, ngger!”
“Apa yang sudah kau lakukan, thole? Apa
yang kau inginkan? Apakah kamu merasa hina menjadi kawulo alit? Apakah
kamu merasa lebih mulia bila menjadi raja? “
“Sadarlah ngger, jadilah dirimu sendiri“.
Kanthong Bolong yang gagah dan tampan,
berubah seketika menjadi Petruk (yang semua orang tahu, dia sangat
jelek). Berlutut dihadapan Semar. Dan Episode “Petruk Dadi Ratu” pun
berakhir anti klimaks.
Petruk tersenyum mengingat peristiwa itu. “Ah… hanya Hyang Widi yang perlu tahu apa isi hatiku, selain Dia aku tak perduli”
Kembali dia mengayunkan “pecok”nya membelah kayu bakar. Sambil bersenandung tembang pangkur:
“Mingkar-mingkuring angkoro, akarono karanan mardisiwi, sinawung resmining kidung, sinubo sinukarto….”
Memang tidak mudah jadi seorang Petruk…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar