“Kamu ini kenapa sih Gar? Nggak jelas kamu bicara apa,” suara Bagong makin terdengar aneh karena berbicara sambil mengunyah gumpalan gumpalan singkong
“Dasar anak nggak tahu adat, silahkan kamu
panggil aku dengan sebutan Reng, atau Gar, atau Gareng, atau apa saja,
tapi memanggil Romo dengan dengan lansung menyebut Semar tanpa
embel-embel, sangat tidak sopan, tahu?” kemarahan Gareng semakin menjadi
“Gareng ini ngawur, nama Semar kok
dibilang nggak sopan.Untung aja Semar nggak ada di sini. Ck ck ck bathuk
mu panas barangkali Reng, Truk carikan dhadap serep untuk obat demam
Gareng.” Senyum Petruk semakin lebar mendengar jawaban Bagong yang
terdengar asal-asalan.
Lain dengan Gareng, dia semakin umup,
semakin mendidih, “Tobat, tobat Gusti. Hei yang tidak sopan itu caramu
memanggil Romo. Tidak boleh njangkar begitu, segala sesuatu itu ada adab
sopan santunnya, ada tata caranya, tidak boleh telanjang begitu”
“Apa? Aku telanjang di hadapan Semar? Lha kok enak dia bisa lihat auratku.”
“Duh, Jagat Dewa Bathara…” Gareng
kesulitan menemukan kosa kata untuk menjawab kalimat makhluk yang
terlahir dari bayangan Ki Semar Bodronoyo ini, dia merasa akan lebih
mudah kalau diminta berdialog dengan dinosaurus yang dihidupkan kembali.
“Meskipun Semar itu goblok, tapi tidak
segoblok Gareng ini. Aku setuju dengan pendapat Semar yang tadi
dibicarakan Gareng,” suara sengau Bagong seperti suara dari balik
kubur,”Aku setuju kalau Semar bilang bahwa semua penduduk Karang
Kedempel ini bisa menjadi pemimpin tidak hanya di Karang Kedempel tetapi
di dunia. Referensi dan dasarnya sangat jelas, nggak percaya? Coba
dengar ya.”
“Kita tilik saja terlebih dahulu dari
dunia musik. Soal cengkok. Memang aku ini tidak bisa menyanyi, tapi yang
namanya anak-anak Karang Kedempel Idol itu dahsyat karena mampu
bercengkok apa saja. Cengkok Negro-nya Whitney Houston tidak bisa
dinyanyikan oleh penyanyi bule, tetapi Bertha yang orang Karang Kedempel
bisa melagukan semua cengkok, ya Arab ya Negro. Orang Karang kedempel
bisa semua cengkok. Orang Arab hanya bisa cengkok Arab. Orang kulit
putih cuma bercengkok kulit putih yang lurus-lurus dan kaku-kaku. Orang
Negro bisa mengeluarkan suara yang melilit-lilit tetapi derajat dan
sudutnya berbeda dengan Jawa dan Arab. Orang Arab tidak akan bisa
membawakan lagu Negro dan begitu sebaliknya. Tetapi, orang Karang
Kedempel bisa melantunkan lagu-lagu Arab, Negro, Barat, Cina dan
lain-lain. Blues oke, Rock juga oke. Dangdut apalagi.”
“Suatu hari mudah-mudahan ada festival
musik intemasional di mana setiap grup harus membawakan satu lagu Jawa,
satu lagu Sunda, satu lagu jazz, satu lagu Arab klasik, satu lagu Arab
modem, dan satu lagu Afrika Utara, dan aku kira orang Karang Kedempel
yang bakal menang. Sebab orang Karang Kedempel bisa menyanyikan lagu apa
saja. Jumlah qari di Karang Kedempel mungkin seratus kali lipat dari
jumlah qari di negara negara Arab. Jadi kalau kita mau mencari orang
Karang Kedempel yang mumpuni membawakan lagu-lagu Arab sampai yang
paling canggih sekalipun itu bertebaran di mana-mana, tetapi kalau
mencari orang Arab yang sanggup menyanyi Jawa itu sulitnya setengah
mati.”
“Itulah sebabnya orang Karang Kedempel
berbakat menjadi pemimpin dunia. Kalau dalam bahasa sepakbola, bangsa
Karang Kedempel berpotensi menjadi kapten kesebelasan dunia. Kapten
adalah pemain yang memiliki determinasi dan penguasaan terhadap seluruh
sisi lapangan dan pemain. Ia bisa berdiri pada posisi manapun. Sekiranya
kiper terkena kartu merah, si kapten bisa menggantikannya. Bila
back-nya cedera, dia bisa menggantikan perannya. Kalau gelandangnya
kurang oke, dia bisa menopang peran si gelandang. Begitu pula jika ada
masalah dengan ketajaman striker, kapten bisa mengambil peran ujung
tombak itu. ltulah kapten yang sebenamya. Maka bangsa yang paling
berbakat untuk menempati segala posisi adalah bangsa Karang Kedempel.
Orang-orang Karang Kedempel memiliki potensi dan kecakapan berkelas
dunia.”
Gareng seperti tersihir mendengar kalimat
kalimat Bagong. Petruk memutuskan duduk mendekat, mengabaikan bau penguk
adiknya yang mandinya belum tentu setahun sekali.
“Dari sudut gen, gen bangsa Karang
Kedempel adalah campuran dari semua gen yang ada di muka bumi. Misalnya,
kamu inggat nggak mantan Pak Kades kita yang pernah mengaku memiliki
gen dan darah Cina, Arab, Persi, dan Ajisaka. Ajisaka itu bukan orang
Jawa melainkan Asoka yang tak lain adalah India. Jadi orang Karang
Kedempel tidak sepenuhnya keturunan Homo Sapiens sebagaimana orang Arab,
Amerika, atau Latin. la adalah campuran dari Homo Sapiens dan sisi-sisa
Homo Erectus. Sehingga, antropologi, sosiologi, dan psikologi orang
Karang Kedempel sangat berbeda dari mereka yang keturunan homo sapiens.
Maka, gen warga Karang Kedempel adalah gen campuran dan karena itu
berpotensi menjadi manusia kaliber dunia. Orang-orang seluruh dunia
tidak paham siapa sesungguhnya warga Karang Kedempel itu. Mereka akan
kaget bahwa temyata warga kita tidak bisa dikalahkan. Orang miskin saja
masih bisa sombong dan dengan penuh percaya diri akan bilang -Lho, sudah
miskin kok ndak boleh sombong. Rugi dua kali dong!- Orang tidak punya
saja masih bisa nraktir. ltu hanya terjadi di Karang Kedempel. Seratus
bangkai motor diserahkan kepada orang Karang Kedempel dan dalam waktu
satu minggu semua motor itu berfungsi kembali atau menjadi sesuatu yang
baru.”
“Bukan cuma itu. Orang Karang Kedempel
memiliki term atau konsep wibawa. Wibawa itu tidak ada di tempat tempat
lain di seluruh dunia. Malaysia pun sudah mulai kehilangan wibawa. Coba
temukan orang Malaysia yang punya wibawa! Datanglah ke sana dan kamu
berdiri tegap tangan bersedekap sambil memandang tajam ke orang-orang,
pasti tidak ada orang yang berani balik memandang kamu. Coba kalau kamu
lakukan di sini, misalnya di pasar TanahAbang, ooo.. ya kujamin jadi
pertengkaran. Aku punya teman-teman Chinese dari Jakarta atau Surabaya.
Kalau mereka pergi ke Hong Kong, mereka sangat unggul dibanding orang
Cina asli. Mereka methenteng teriak-teriak ala Jakarta, Siapa lu! atau
ala Surabaya dengan suara keras, Yo opo, rek! Mereka unggul secara
kewibawaan karena sudah terlatih di Indonesia. Sebab di Cina asli sana
orangnya baik-baik, tertib, lugu, tetapi di sini siapa yang menjamin
hidupmu. Kanu harus liar di sini. Dirampok atau tidak, kamu mesti
bertanggungjawab sendiri karena tidak ada perlindungan.”
“Maka tidak ada pilihan lain bahwa di
Karang Kedempel ini kamu harus menjadi pendekar. Kondisi inilah yang
menumbuhkan sesuatu yang dalam bahasa dan konsep Jawa disebut awu. Awu
itu bukan aura. Aura baru sebatas indikatif terhadap awu. Kalau krentek
itu dhoq dalam bahasa Arabnya. Krentek adalah titik akurasi dari daya
intuisi terhadap suatu hal. Awu tidak sama dengan aura dan krentek. Awu
itu sernacam kekuatan elektromagnetik dari dalam jiwamu yang memancar
kepada orang lain. Awu itu kekuatan batin yang keluarnya sedikit fisik
sedikit nonfisik tapi dia bisa menguasai orang lain. Dan ini tidak ada
di mana mana di seluruh dunia. Hanya orang Karang Kedempel yang kenal
wibawa atau awu.”
“Di luar negeri dikenal istilah kharisma,
tetapi itu tidak bisa melawan dimensi wibawa dan awu. Maka di Jawa,
orang yang tidak bisa dikalahkan atau dilawan disebut ngawu-ngawu. Ini
serius lho Reng, Truk dan hanya kamu kamu ini yang punya wibawa di
seluruh dunia. Biarpun profesor di London atau di manapun, mereka pintar
tapi tidak punya wibawa. Pintar secara akademis, tetapi ndlahom. Lain
halnya dengan orang Karang Kedempel: tidak punya pekerjaaan dan tidak
pemah sekolah tapi kereng (galak) setengah mampus. Tidak punya uang
tetapi berani kawin, seperti Gareng ini, rokoknya Dji Sam Soe lagi! Nah,
sayangnya, justru karena kita punya wibawa maka kita malas melakukan
apa saja. Muncullah bonek-bonek. Bonek tidak hanya di Surabaya melainkan
di seluruh Karang Kedempel. Semua orang ber-bondo nekat. Apakah bukan
bonek jika orang berani-beraninya menjadi Kades, padahal tidak punya
kemampuan untuk mengatasi masalah. Kalau bonek di Surabaya ngamuk, tentu
aku tidak setuju kriminalitasnya, tetapi mari kita pelajari kenapa
sampai timbul bonek seperti itu. Harus kita temukan apa keistimewaan dan
keburukan bonek. Sebagai potensi, bonek tidak bisa dilawan dan karena
itulah Surabaya digelari sebagai kota pahlawan. Masak berani perang,
jika bukan bonek. Kalau dibaca secara positif, sesungguhnya bonek adalah
bahasa Jawanya tawakkal. Padahal kita tahu bahwa tawakkal, beserta
jihad dan syahid, adalah tiga senjata yang sangat ditakuti di
mana-mana.”
“Sesungguhnya pemerintah Karang Kedempel
ini adalah pemerintah yang paling enak, sebab masyarakatnya adalah
masyarakat yang paling mandiri. Bencana begitu rupa dahsyatnya bisa
dihadapi dengan tenang dan serba bersyukur. Sementara Badai Katerina
yang melanda California membuat orang-orang di sana panik dan
marah-marah kepada pemerintah Amerika. Mereka mendemo pemerintahnya yang
tidak antisipatif dan tidak becus mengurusi masalah bencana alam itu.
Badai di New Orleans yang tidak ada sekukunya Tsunami di Aceh
menyebabkan terjadinya dehumanisasi total dan pemerintahnya dimarahin
habis-habisan. Di Karang Kedempel mana ada rakyat sampai seperti itu?
Harga BBM dinaikkan, bergejolak sejenak, setelah itu rakyat
tenang-tenang saja, jalan jalan tetap macet penuh mobil seolah kenaikan
harga BBM tidak mempengaruhi konsumsi bensin mereka. Pemerintah silih
berganti dan naik turun, tetapi rakyat tetap stabil.”
“Orang orang di luar negeri serba serius
dan mentelheng. Aku pernah ke Arab lho Truk, Reng, dan berteriak di
keramaian mengucapkan salam, Asslamualaikum…. Tidak seorang pun
menjawab. Ketemu polisi di sana dan saya tanya di mana makam Siti
Khadijah, jawabnya cuma Wallahu a’lam……! Gila nggak sih? Orang-orang
Karang Kedempel sangat mudah tersenyum, ceria, tidak tegang, dan punya
banyak cara untuk menertawakan keadaan, dan itu di satu sisi sangat
menyehatkan jiwa mereka.”
“Semua sifat dan potensi orang Karang
Kedempel bisa sangat positif dalam menyongsong masa depan. Lebih-lebih
ketika saat ini kita sedang memasuki tahap lingsir wengi alias kegelapan
total di berbagai bidang. Musibah di darat, udara, dan lautan
bertubi-tubi menampar bangsa Karang Kedempel. Belum lagi krisis
internasional yang sudah mengintai, di antaranya krisis biji-bijian,
padi, kedelai dan lain-lain, pada skala internasional, sehingga akan
terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan tingkat konsumsi yang
pasti berdampak pada munculnya gejolak dan konflik vertikal maupun
horisontal.”
Kalimat-kalimat Bagong mengalir lacar, membuat kedua kakaknya tak sempat untuk berkedip sekalipun
“Potensi bangsa Karang Kedempel sangat
besar untuk bisa tampil dalam panggung kepemimpinan dunia, asal saja
kita mau dan serius. Formulasinya bisa dicari. Pada tingkat nasional,
Jakarta sudah melakukan eksperimentasinya dan hampir gagal. Sehingga,
misalnya, harus ada pemecahan ibukota. Ibukota ekonomi tetap di Jakarta,
tetapi ibukota politik kita pindah entah ke Bandung atau Surabaya.
Pemisahan ini dimaksudkan untuk mengurangi KKN dan menormalkan
restrukturisasi dan deregulasi atas apa yang selama ini menciptakan
madharat bagi rakyat. Tetapi tawaran ini lebih luas dan berskala
internasional. Bukan curna soal kepemimpinan politik nasional atau pada
level kabinet melainkan menyangkut krisis internasional, menyangkut
konstelasi internasional.”
“Kita juga harus mulai menggali dan
mengeksplorasi kekuatan lokal serta melengkapinya dengan ilmu. Maka
kegiatan yang kita lakukan di berbagai tempat adalah majelis ilmu. Orang
Karang Kedempel budayanya kuat, imannya kuat, tawakkalnya kuat, namun
ilmunya kurang serius, tetapi bukan berarti bodoh. Ilmu yang serius bisa
berarti mau mempelajari bahwa sesungguhnya bangsa Karang Kedempel itu
hebat dan saking hebatnya sampai-sampai menjadi malaikat pun pintar dan
jadi setan pun juga jagoan. Sehingga yang namanya Karang Kedempel itu
kontraversial. Di lain pihak kelihatannya miskin dan dilanda krisis,
tetapi aku tidak bisa menemukan tingkat kemewahan hidup melebihi
orang-orang Karang Kedempel ini. Ilmu yang serius bisa juga berarti
menyadari bahwa hanya bangsa yang besar yang diberi ujian beruntun dan
mau mengolah kejadiankejadian itu menjadi kekuatan untuk bersiap
menyambut masa depan: menjadi kapten kesebelasan dunia. Menjadi pemimpin
jagad raya”
“Mengerti tidak kalian ini? Truk…, Reng…”
Gareng mengakhiri khotbahnya. “Oooo dasar orang gila! Lha wong diajak
ngomong malah melongo, ya sudah aku pergi…” Dan Bagong pun berlalu
Petruk dan Gareng tidak bisa memberikan
reaksi apa-apa. Seharusnya mereka tidak perlu heran dan kaget atas apa
yang baru saja mereka dengar, yang keluar dari mulut Bagong. Mereka juga
sadar bahawa sesakti apapun mereka, Bagong hanya perlu menjentikkan
telunjuknya untuk membuat mereka terpental hingga ke seberang Galaxy
Mereka hanya pangling akan bentuk utuh
dari Bagong yang sesungguhnya. Bagong terlahir dari bayangan Semar,
tentu saja kebijaksanaan Semar juga menurun ke dalam jiwa Bagong. Dan
kalau selama ini Bagong kelihatan liar dan bertingkah laku serta bicara
sesukanya, hal itu dikarenakan peran yang harus dijalani Bagong memang
harus seperti itu.
Petruk seratus persen sadar bahwa yang
baru saja diucapkan Bagong melalui pidatonya yang panjang lebar hanyalah
sebuah satire. Sebuah sindiran bagi warga Karang Kedempel untuk
berfikir dan berindak lebih produktif dan konstruktif.
Gareng pucat, jiwanya terguncang. Dia
seakan tertampar dan diingatkan bahwa sopan santun yang palsu seringkali
membuat manusia menjadi tumpul nalar dan batinnya. Dan dia pun ngeloyor
pergi meninggalan rumah Petruk tanpa pamit, dan tanpa memperdulikan
guyuran hujan yang mulai deras.
Sepergi Bagong dan Gareng, Petruk baru
tersadar dan segera tersenyum lebar melihat bahwa dua bakul yang sebelum
nya penuh berisi singkong rebus telah tandas. Pastinya sudah pindah ke
dalam perut si Bagong.
Tiba-tiba Petruk dikagetkan suara
isterinya yang keluar dari bilik sambil menenteng payung,”Kang, saya mau
antri elpiji dulu ya. Katanya di kelurahan ada pembagian elpiji gratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar