Orang Pasundan merasa Sunda bukan lah etnis di Jawa Barat melainkan orang-orang se Paparan Sunda yang berkumpul di pusat peradaban. Agama yang dianutnya pun adalah Sunda Wiwitan. Beberapa penganut Kejawen mengakui Sunda Wiwitan sebagai sumber ke-jawa-an, dimana agama Sunda yang monotheisme adalah ajaran Islam dari Brahma (Abram menurut Taurat, Abraham menurut Injil dan Ibrahim menurut Quran), serta ajaran-ajaran sebelum Brahma (mungkin ajaran Islam sejak Nabi Adam), dimana ajaran yang diusung adalah garis Habil dengan musuh ajaran Qabil.
Sunda Wiwitan yang berkembang dan disempurnakan oleh ajaran Al Quran menjadi agama menurut faham Kejawen adalah Manunggaling Kawula Gusti yaitu bersatunya hamba dengan Tuhan-nya (diskusi posting kemarin). Perspektif ajaran Kejawen berdimensi tasauf percampuran antara kebudayaan Jawa, Hindu, dan Budha yang kurang menghargai aspek syariat dengan hukum-hukum hakiki agama Islam, alasannya adalah bahwa penyebar agama Islam pada waktu itu lebih mementingkan Islam diterima dahulu walau harus menyesuaikan dengan adat Jawa. Kejawen sendiri bukan lah berasal dari kata Jawa, melainkan dari jawi atau kesederhanaan. Tetapi orang Jawa sudah menggunakan atau memakai gelar “Sayidina Panatagama”, “Khalifatullah”, “Ajaran agama ageming aji” ( perhiasan ) untuk raja-raja Jawa, karena raja adalah wakil Allah di dunia.
Kitab Mahabarata dan Ramayana merupakan sumber inspirasi ajaran Kejawen yang mengandung ajaran moral dan karakter prilaku tuntunan hidup dengan pola pemahaman kajian pikiran Jawa yang lebih terfokus pada aspek indra batin dan prilaku batin. Strategi pendekatan Kejawen adalah mencari pendekatan kepada Tuhan bahkan selalu ingin menyatu dengan Tuhan ( Manunggaling Kawula Gusti) dan analisanya bersifat batiniah.
Sunda Wiwitan di Jawa Barat menjadi agama Sunda yang cenderung melengkapinya dengan ajaran Al Quran dalam bentuk tajalli, mirip dengan kejawen, tetapi tetap melaksanakan syariat secara hakiki. Penyatuan diri dengan Allah adalah tidak mungkin karena manusia berbeda zat dengan Allah, tetapi manusia harus mampu mencapai ketuhanan sesuai kemampuan akalnya. Maka secara tasauf, tajalli adalah menyatukan diri kepada penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”. Tidak mengherankan, pada 1576M, Raja Sunda Galuh (atau dikenal dengan raja Pakuan Pajajaran karena berkantor di Pakuwuan yang berjajar, karena raja adalah mandataris dari board of director raja-raja dari trias politica pemerintahan Paparan Sunda ala kearifan lokal) lebih suka mengalah dan menghilang (raib atau tilem) ketimbang harus berperang sesama bangsa yang dikepalai oleh panglima-panglima Gujarat dan China yang mejadi wakil Kerajaan Demak, Cirebon, Bali dan Banten.
Oleh sebagian kalangan Islam kaum santri berwarna Islam Arab, konsep penyatuan manusia dengan Tuhan Kejawen dan agama Sunda dianggap mengarah kepada penyekutuan Tuhan atau prilaku Syirik. Anehnya banyak ahli-ahli spiritual Islam Timur Tengah bahkan banyak belajar kepada agama Islam Sunda ini. Apakah karena pola pikir tasauf Jawa pada waktu itu sudah lebih maju ketimbang tasauf Arab? Dimana Nabi Muhammad SAW sendiri melaksanakan tingkat-tingkat di atas syariat seperti tarekat, hakekat dan marifat. Kemudian untuk menjadi marifatullah seseorang harus mengikuti sunnah Rasul dalam sifat siddiq, amanah, tabligh dan fatonah?
Pemberhentian tingkat di syariat ini lah yang nampak terjadi pada kaum muslim sejak memasuki abad 20, yang oleh para ahli agama Islam Turki disebutnya sebagai degradasi. Seolah dengan menerima rukun iman dan menjalankan rukun islam pahala lah ganjarannya. Dengan pahala yang banyak dijamin masuk surga. Mungkin ini pula lah yang menyebabkan orang Islam menjadi lagi tidak peka akan alam atau tidak islami (menerima sunatullah secara ikhlas).
Sunda Wiwitan yang berkembang dan disempurnakan oleh ajaran Al Quran menjadi agama menurut faham Kejawen adalah Manunggaling Kawula Gusti yaitu bersatunya hamba dengan Tuhan-nya (diskusi posting kemarin). Perspektif ajaran Kejawen berdimensi tasauf percampuran antara kebudayaan Jawa, Hindu, dan Budha yang kurang menghargai aspek syariat dengan hukum-hukum hakiki agama Islam, alasannya adalah bahwa penyebar agama Islam pada waktu itu lebih mementingkan Islam diterima dahulu walau harus menyesuaikan dengan adat Jawa. Kejawen sendiri bukan lah berasal dari kata Jawa, melainkan dari jawi atau kesederhanaan. Tetapi orang Jawa sudah menggunakan atau memakai gelar “Sayidina Panatagama”, “Khalifatullah”, “Ajaran agama ageming aji” ( perhiasan ) untuk raja-raja Jawa, karena raja adalah wakil Allah di dunia.
Kitab Mahabarata dan Ramayana merupakan sumber inspirasi ajaran Kejawen yang mengandung ajaran moral dan karakter prilaku tuntunan hidup dengan pola pemahaman kajian pikiran Jawa yang lebih terfokus pada aspek indra batin dan prilaku batin. Strategi pendekatan Kejawen adalah mencari pendekatan kepada Tuhan bahkan selalu ingin menyatu dengan Tuhan ( Manunggaling Kawula Gusti) dan analisanya bersifat batiniah.
Sunda Wiwitan di Jawa Barat menjadi agama Sunda yang cenderung melengkapinya dengan ajaran Al Quran dalam bentuk tajalli, mirip dengan kejawen, tetapi tetap melaksanakan syariat secara hakiki. Penyatuan diri dengan Allah adalah tidak mungkin karena manusia berbeda zat dengan Allah, tetapi manusia harus mampu mencapai ketuhanan sesuai kemampuan akalnya. Maka secara tasauf, tajalli adalah menyatukan diri kepada penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”. Tidak mengherankan, pada 1576M, Raja Sunda Galuh (atau dikenal dengan raja Pakuan Pajajaran karena berkantor di Pakuwuan yang berjajar, karena raja adalah mandataris dari board of director raja-raja dari trias politica pemerintahan Paparan Sunda ala kearifan lokal) lebih suka mengalah dan menghilang (raib atau tilem) ketimbang harus berperang sesama bangsa yang dikepalai oleh panglima-panglima Gujarat dan China yang mejadi wakil Kerajaan Demak, Cirebon, Bali dan Banten.
Oleh sebagian kalangan Islam kaum santri berwarna Islam Arab, konsep penyatuan manusia dengan Tuhan Kejawen dan agama Sunda dianggap mengarah kepada penyekutuan Tuhan atau prilaku Syirik. Anehnya banyak ahli-ahli spiritual Islam Timur Tengah bahkan banyak belajar kepada agama Islam Sunda ini. Apakah karena pola pikir tasauf Jawa pada waktu itu sudah lebih maju ketimbang tasauf Arab? Dimana Nabi Muhammad SAW sendiri melaksanakan tingkat-tingkat di atas syariat seperti tarekat, hakekat dan marifat. Kemudian untuk menjadi marifatullah seseorang harus mengikuti sunnah Rasul dalam sifat siddiq, amanah, tabligh dan fatonah?
Pemberhentian tingkat di syariat ini lah yang nampak terjadi pada kaum muslim sejak memasuki abad 20, yang oleh para ahli agama Islam Turki disebutnya sebagai degradasi. Seolah dengan menerima rukun iman dan menjalankan rukun islam pahala lah ganjarannya. Dengan pahala yang banyak dijamin masuk surga. Mungkin ini pula lah yang menyebabkan orang Islam menjadi lagi tidak peka akan alam atau tidak islami (menerima sunatullah secara ikhlas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar